Akhirnya semalam saya dapat merapikan dan berbenah isi blog ini yang sudah direncanakan namun selalu saja tertunda karena beberapa kesibukan. Berbenah mulai dari memperbaharui WordPress yang saya gunakan sebagai platform blog ini, memperbaharui plugin yang saya gunakan, membersihkan spam yang masuk, dll.
Pada saat sedang berbenah itu, saya mendapati sebuah artikel lama diblog ini, yaitu artikel yang bertajuk Raib jadi Rahib. Sebenarnya tajuk berikut dengan isi artikel itu bukan merupakan hasil karya saya sendiri, melainkan sebuah surat yang saya dapatkan dari sebuah maling list.
Kisah dibalik “Raib jadi Rahib”
Artikel tersebut merupakan sebuah uraian singkat perjalanan spiritual seorang Imam (Romo/Pastor/Pater/Padre) dalam Gereja Katolik, yaitu Romo Martin Suhartono S.J..
Dalam suratnya itu, beliau mengisahkan perjalanan hidupnya menapaki liku liku kehidupan. Ketika sebagai seorang awam (pertentangan dia dan keluarga ketika menyatakan kehendak untuk masuk biara) maupun setelah dia memutuskan untuk masuk ke dalam jenjang pendidikan formal sebagai anggota Ordo Serikat Yesus, mulai dari novisiat sampai dengan seminari dan kemudian ditahbiskan sebagai Imam dan mengucapkan Kaul Kekal.
Singkat cerita, setelah ditahbis menjadi seorang Imam, dan mendapatkan perutusan pada beberapa karya Serikat Yesus yang ada di Indonesia dan luar negeri, Romo Martin kemudian memutuskan untuk keluar dari Serikat Yesus dan kemudian menjadi seorang Rahib atau Pertapa dalam Gereja Katolik.
Setelah melalui beragam pergumulan batin dan spiritual, beliau akhirnya pada Desember 2006 mulai resmi menjadi seorang pertapa untuk menekuni hidup kontemplatif pada sebuah biara Ordo Karthusian di Inggris.
Ordo Karthusian didirikan pada tahun 1084 oleh Santo Bruno (pesta Santo Bruno setiap tanggal 6 Oktober). Santo Bruno sendiri awalnya adalah seorang profesor teologi di Perancis sebelum dia memutuskan menjadi seorang pertapa.
Dan seturut tradisi dalam biara Ordo Karthusian, Romo Martin mengganti nama menjadi Ambrosius Maria.
Setelah enam bulan sebagai postulan Karthusian, dan tepat sembilan bulan sebagai novis Karthusian, Romo Martin melepaskan jubah Karthusian pada Minggu Paska 23 Maret 2008. Dan kembali menjadi seorang Imam dalam Ordo Serikat Yesus, dan menggunakan nama aslinya kembali, yaitu Martin Suhartono S.J.
“Into Great Silence”
Secara bebas “Into Great Silence” saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kedalam Keheningan yang Agung”.
Nah kaitan antara “Raib Jadi Rahib” dengan “Into Great Silence” ini sangat erat. Karena pada “Raib Jadi Rahib” dikisahkan pengalaman pribadi Romo Martin sebagai seorang pertapa Karthusian yang dijelaskan secara tekstual. Sedangkan “Into Great Silence” adalah sebuah film dokumentasi yang merekam kehidupan keseharian para pertapa Karthusian pada biara induk mereka di Perancis.
Film “Into Great Silence” dibuat selama 6 bulan dalam rentang tahun 2002 s/d tahun 2003 oleh Philip Gröning. Sebenarnya Gröning sudah mengajukan permohonan kepada Ordo Karthusian agar dapat mendokumentasikan kehidupan para rahib tersebut sejak tahun 1984. Namun baru setelah 16 tahun kemudian, Gröning mendapatkan respon dari Ordo Karthusian dan mereka menyatakan berkenan untuk didokumentasikan.
Tentu dengan pelbagai persyaratan dan ketentuan. Diantaranya segala aktifitas pengambilan gambar yang dilakukan oleh Gröning tidak boleh mengganggu rutinitas para rahib sehari-hari, serta sesuai dengan prinsip hidup kontemplatif yang mengutamakan keheningan.
Didalam melakukan pengambilan gambar, Gröning hanya mengandalkan available light alias pencahayaan apa adanya. Demikian juga perangkat kamera yang digunakan, benar-benar yang seadanya. Karena tidak dimungkinkan untuk membawa pernak-pernik pengambilan gambar sebagaimana layaknya pembuatan sebuah film.
Maka dari itu, dalam film “Into Great Silence” kita tidak akan mendapati adegan-adegan yang luar biasa menggelegar atau special effect yang dibuat untuk mendramatisir hasil visual film tersebut.
Pengambilan gambar film ini dilakukan di biara induk Ordo Karthusian di Perancis. Dari itulah mengapa bahasa yang digunakan oleh para rahib didalam film dokumenter ini adalah bahasa Perancis. Dalam tautan yang ada dibawah disediakan teks bahasa Jerman. Namun jangan khawatir, sesuai dengan tajuk film ini sangat sedikit dialog yang terjadi, sehingga teks tidak terlampau menjadi titik berat.
“Into Great Silence” menyajikan kehidupan sehari-hari para rahib apa adanya, dan tanpa ada rekayasa didalamnya.
Seluk beluk laku-tapa yang mereka lakukan, mulai dari kegiatan ibadat pribadi, ibadat bersama/komunitas, perayaan misa, makan serta kerja tangan seperti membersihkan biara, menyapu lantai, menyiram tanaman, merawat binatang peliharaan, mencukur rambut, menambal sepatu, menjahit jubah/pakaian dan beragam kegiatan keseharian lainnya.
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam situasi benar-benar hening dan dalam kesederhaan serta jauh dari hingar bingar kehidupan modern.
Berbicara secara bebas hanya dapat dilakukan oleh para rahib selama 45 menit dalam 1 kali seminggu, atau pada kegiatan walk day. Pada kegiatan walk day, seluruh anggota komunitas pertapaan itu bersama-sama melakukan rekreasi jalan lintas alam. Pada saat itulah para rahib dapat bebas berinteraksi satu dengan lainnya.
Kita dapat menyimak keheningan yang damai dalam film dokumenter ini, sembari sesekali kita simak latunan lagu-lagu Gregorian yang di daraskan oleh para rahib.
Sebuah gagasan hidup yang bisa jadi asing atau aneh bagi banyak orang. Sebuah cara hidup yang dilakukan secara bebas, tanpa paksaan dan penuh ikhlas dengan mengandalkan pentunjuk dari Allah sendiri.
Gaya hidup kontemplatif dan monastik para rahib ini, serta gaya hidup khas yang dijalani oleh para rohaniwan/rohaniwati (Imam/Bruder/Suster) adalah salah satu kekayaan dalam Gereja Katolik. Sebuah kekayaan yang sudah dijalankan ribuan tahun lalu.
Selamat menonton dan menikmati.
Referensi lain mengenai biara/pertapaan Katolik yang ada di Indonesia.