Peregrinasi; kisah bahwa negeri ini masih Indonesia

Ada yang mengatakan bahwa hidup manusia di muka planet Bumi ini adalah sebuah proses pengembaraan. Kita mulai mengembara saat pertama kali menghirup oksigen ketika dilahirkan dan kemudian pengembaraan itu berakhir ketika kita wafat.

Namanya juga mengembara, pasti ada kisah yang menyertainya. Sedih, kecewa, senang, bahagia, tangis, tawa, beruntung, rugi, dan sebagainya. Ada yang mengembara dengan segala kemudahan, namun ada pula yang mengembara dengan pontang panting atau dengan “modal” pas-pasan.

Kita pasti akan berusaha sekuat kita untuk dapat mengembara dengan mudah dan nyaman kan. Toh, kalau memang bisa mudah, tentu buat apa kita buat susah bukan?

Eh tapi di negeri ini sering kita dapati fenomena dan situasi, dimana “kenapa harus mudah sih kalau bisa susah”? Hahahaha … Pasti Anda sering menjumpai hal tersebut, terutama bila berhadapan dengan “yang mulia” para birokrator kita.

Nah, jadi ngelantur nulisnya 🙂

Pada beberapa kesempatan saya kerap mendapati di Jalan Jendral Sudirman di Jakarta, beberapa orang yang berbaris rapi dengan pakai tradisional ala Sunda (Jawa Barat) berjalan pada siang hari tanpa alas kaki. Informasi yang saya peroleh dari beberapa kawan bahwa mereka itu adalah orang-orang dari suku Baduy Luar yang sedang mengembara.

Wow, luar biasa sekali. Jaman sekarang masih ada orang yang menjalani proses pengembaraan seperti yang dilakukan oleh nenek moyang kita dahulu kala. Kalau benar mereka dari kampung Baduy, bayangkan saja jarak yang mereka harus tempuh dengan berjalan kaki dan tanpa alas kaki dari kampungnya menuju Jakarta.

Bisa jadi juga sebenarnya hal tersebut tidak terlampau istimewa, karena setiap hari ada jutaan manusia yang mengembara di kota Jakarta. Pergi pagi sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam.

Bagi sebagian orang, mengembara dengan fasilitas minim dan penuh tantangan, justru merupakan hal yang mereka pilih, atau mungkin lebih tepatnya “harus dipilih” untuk mendapatkan makna pengembaraan sebenarnya. Makna yang mereka dapatkan sebagai sebuah hasil dari pengembaraan.

Lantas setelah mendapatkan makna tersebut apa gunanya? Tentu saja tergantung dari niat awal mengembaranya, yang tidak tertutup kemungkinan pula niat tersebut berubah secara drastis setelah mendapatkan makna sebenarnya.

Bahkan dulu para pejuang kemerdekaan hanya bermodal bambu runcing ketika melawan para penjajah. Sebuah pengembaraan yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan, bebas dari penindasan bangsa asing. Yang sekarang malah penindasan banyak dilakukan oleh bangsa sendiri.

Peregrinasi dan Serikat Yesus

Peregrinasi (Latin: Pregrinationem, Inggris: Peregrination) secara umum berarti mengembara. Peregrinasi identik dengan mengembara berjalan kaki.

Dalam buku The Jesuit Way; Kontemplasi dalam Aksi karangan William A. Barry SJ dan Robert G. Doherty SJ, dikisahkan bagaimana para Imam dan Bruder dalam Ordo Serikat Yesus menjalankan peregrinasi sebagai sebuah fase dalam jenjang pendidikan mereka.

Bagaimana para Frater (calon Imam dan Bruder) pada masa novisiat, dilepas selama lebih kurang 9 hari untuk melakukan perjalanan sejauh 300 kilometer sampai 350 kilometer tanpa membawa bekal apapun. Barang berharga yang dapat mereka bawa hanyalah kartu identitas diri, pakaian yang melekat dibadan mereka dan alas kaki.

Pada buku Peregrinasi: Eksperimen dan Cara Hidup Yesuit dipaparkan beberapa kisah dari mereka yang telah menjalani serta melakukan peregrinasi sebagai tahapan formasi/pembinaan dan pendidikan dalam Ordo Serikat Yesus.

Masih menurut buku tersebut, peregrinasi dalam Ordo Serikat Yesus adalah sebagai salah satu eksperimen dalam masa novisiat pada dasarnya mengacu pada pengalaman Santo Ignasius Loyola (pendiri Ordo Serikat Yesus bersama 6 orang sahabatnya) yang berziarah ke Yerusalam dalam keadaan kemiskinan yang memuncak.

Dalam melakukan peregrinasi, mereka mengalami banyak kisah layaknya sebuah pengembaraan. Salah satu tujuan dari peregrinasi tersebut adalah agar mereka dapat menyadari kasih Tuhan serta hanya semata-mata mengandalkan belas kasih Tuhan dalam hidup mereka.

Bagaimana tidak, selama mengembara tanpa bekal itu, mereka benar-benar menggantungkan hidup kepada Tuhan melalui kebaikan hati orang-orang yang mereka jumpai di dalam perjalanan mereka itu; mulai makanan dan minum, serta ijin untuk numpang menginap di tempat-tempat yang mereka lewati.

Sebuah hal yang tentu tidak dapat dengan mudah dipahami oleh banyak orang. Kita memang tidak dituntut untuk memahami hal itu, namun mengamati kisah mereka yang sudah melakukan peregrinasi, khususnya di Indonesia, semoga dapat menggugah semangat nasionalisme kita.

Peregrinasi dan Indonesia

Para Frater yang adalah kaum berjubah dari Gereja Katolik; mereka yang dipersiapkan serta ditempa (selama 10 sampai 12 tahun) sebagai orang-orang yang akan memberikan pelayanan dalam banyak karya Gereja Katolik itu, memberikan diri mereka untuk dapat mengalami belas kasih sayang dari perjumpaan dengan banyak orang, termasuk mereka yang tidak beragama Katolik. Pengalaman kasih yang juga mereka peroleh dari mereka yang tidak menggantungkan Salib di rumah mereka.

Kisah perjumpaan serta pengalaman kasih dengan orang-orang dengan beragam latar belakang yang mereka alami selama menjalani peregrinasi menjadi bukti nyata, bahwa sejatinya pada tataran akar rumput terdapat kesinambungan serta bela rasa yang harmonis. Jauh dari dogma-dogma agama yang mereka anut, mereka menjalankan apa yang menjadi amanat hati nurani mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka, yaitu mengasihi.

Benar bahwa ada juga yang menolak atau memberi respon yang tidak menyenangkan ketika para Jeuit itu mengungkapkan identitas mereka sebagai orang Katolik, namun hal itu tidak mengaburkan kisah kasih yang justru lebih mendominasi. Pengalaman kasih yang akan menjadi bekal bagi para Jesuit muda itu.

Bangsa Indonesia sesaat lagi akan mengecap 70 tahun kemerdekaan. Kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing. Penjajahan yang dialami ratusan tahun. Namun justru ketika Indonesia sudah merdeka, terjadi banyak sekali penindasan yang dilakukan oleh bangsa ini sendiri. Bangsa ini memang masih mengembara, sebuah pengembaraan yang baru akan berakhir ketika hari penghakiman itu tiba.

Apakah selama pengembaraan itu kita sudah berbuat sesuatu? Bukan hal besar, melainkan bagi diri sendiri dulu yang mungkin bisa membawa manfaat bagi orang sekeliling kita, selain hanya bergunjing dan justru memperkeruh damai yang diusahakaan oleh nenek moyang kita?

Semoga.

Menjelang 31 Juli peringatan Santo Ignasius Loyola (Pendiri Ordo Serikat Yesus) dan peringatan ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.