Catatan Kecil

Beberapa hari belakangan ini saya menemukan tulisan dibawah ini pada beberapa milis yang saya ikuti. Bagi saya tulisan ini sangat menarik untuk dicermati, bukan hanya karena tema sosial yang coba diketengahkan oleh tulisan ini dengan menggunakan agama sebagai ‘pintu masuk’ terhadap isu sosial yang ada dan krusial, tetapi juga atmosfir keberagaman tanpa bermaksud terjebak dalil-dalil agama secara detail yang dapat membuat pesan yang akan disampaikan menjadi kabur.

Tujuan/pesan dari tulisan ini akan isu sosial dan moral yang ada, dapat tersampaikan dengan jelas dan gamblang serta sederhana. Sehingga dapat dengan mudah dicerna dan dipahami oleh banyak kalangan tanpa harus pusing memahami dalil-dalil agama yang sering kali justru membuat bingung.

Saya termasuk yang sepaham dan setuju dengan pemaparan dan tema dari tulisan dibawah. Namun ada juga yang tidak sepakat dan menaruh curiga, bahkan menertawakan tulisan dibawah.

Banyak hal yang disampaikan oleh mereka yang kontra. Kontradiksi yang ada lebih pada hal yang nampaknya sengaja ingin dihindari oleh si penulis-nya itu sendiri, yaitu; dalil-dalil agama. Bagi yang mereka yang tidak setuju, beranggapan bahwa tulisan dibawah sangat dangkal karena tidak didasari dan menyertakan dalil-dalil agama dengan jelas. Terutama pada kalimat:

Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.

Tuhan tidak berada di masjid (baca: rumah ibadah)

Dan beberapa kalimat lainnya. Perbedaan pendapat memang sah-sah saja dan saya tidak bermaksud membenarkan atau menyalahkan.

Namun barangkali yang perlu diperhatikan adalah pesan moral dan sosial dari tulisan itu sendiri. Saya percaya dan yakin, bahwa maksud penulis membuat artikel dibawah bukan untuk membuat orang saling bertabrakan dan bergesekan satu dengan yang lainnya atau membentuk debat kusir terhadap bobot dogma dan nilai-nilai ajaran tertulis dari agama tertentu. Juga tidak bermaksud memojokan kalangan tertentu pula.

Ada juga yang tidak yakin bahwa tulisan dibawah dibuat oleh seorang tokoh sekelas Emha Ainun Najib. Karena pada tulisan dibawah, dianggap miskin detail atas dalil yang digunakan. Saya berusaha untuk memahami tulisan tersebut tidak dari siapa yang menulis dan/atau apa latar belakang ilmiah/teologis yang digunakan, melainkan apa yang ingin disampaikan oleh tulisan itu sendiri.

Yes, I don’t care who the writer was.

Saya akan menaruh hormat kepada siapapun yang menulis artikel itu. Kalau kemudian ternyata yang menulis tulisan dibawah adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki kompetensi secara legal dibidang agama, sosial, psikologis, dll. Saya akan tetap angkat topi.

Bagi saya, tema dan isi tulisan, jauh lebih penting dibandingkan latar belakang penulis-nya.

Tulisan dibawah mengingatkan saya pada sebuah diskusi yang sempat saya lakukan dengan salah seorang kawan berkebangsaan Inggris dan Australia yang kebetulan mantan tentara gurka. Pada diskusi yang terjadi ditengah belantara pedalaman hutan di Kalimantan Timur itu pada sekitar tahun 1998, kawan saya itu menyampaikan satu hal yang lumayan menghentak saya pada akhir diskusi, dia menyampaikan bahwa buat apa kalian bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang beragama, kalau setiap hari kerja kalian hanya ribut dan bertengkar satu sama lain.

Sebuah hal sulit ditolak dan dikatakan tidak benar, walaupun terkesan absurd dan tidak mewakili bangsa ini dalam bentuk apapun, walaupun potensi tersebut samar-samar terlihat, nyata dan lumayan laten.

Entry ini hanya sekedar catatan kecil saya atas artikel dibawah, sekali lagi tanpa bermaksud mempersalahkan dan membenarkan pihak manapun.

Silahkan menyimak tulisan dibawah. Semoga dapat memberikan pencerahan baru dalam berkegiatan sosial. Karena pada prinsip-nya manusia adalah mahluk sosial, yang segala tindakan dan perbuatan kita akan berakibat pada apa yang ada di sekeliling kita. Terlepas dari ikatan agama atau aliran kepercayaan yang dianutnya.

Gusti Allah Tidak “nDeso”
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?” Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”

“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.

“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.

“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.

Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.

Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.

Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya : kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap.

Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.

Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, “Ia di neraka.” Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, ikut misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan.

Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid’ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid’ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka.

Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan rupiah uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.