Pekan lalu, tepatnya pada tanggal 18 Mei 2017, saya mendapatkan undangan dari Pertamina dan berkesempatan untuk sharing sebuah materi diskusi dengan tajuk “Komunikasi Visual dengan pendekatan Fotografi dan Videografi” pada ajang IPA CONVEX ke-41 yang bertempat di Jakarta Convention Center.
IPA CONVEX atau lengkapnya Indonesia Petroleum Association Convention and Exhibition merupakan kegiatan tahunan yang diadakan oleh Indonesia Petroleum Association (IPA). IPA adalah sebuah organisasi yang menjadi wadah berkumpulnya para pelaku industri MIGAS di Indonesia. Anggotanya tidak hanya dari kalangan korporasi/perusahaan MIGAS, melainkan juga perorangan yang bekerja pada industri MIGAS maupun mereka yang memiliki minat khusus terhadap industri MIGAS.
Mungkin diantara anda lantas ada yang bertanya apa relasi antara industri MIGAS (khususnya industri hulu/upstream MIGAS) dengan komunikasi visual, apa pula yang menjadi arsiran diantara keduanya?
Tulisan berikut ini bukan jurnal ilmiah, bukan pula sebuah artikel akademis. Melainkan tulisan ini adalah rangkuman dari diskusi tersebut diatas berdasarkan pengalaman saya sebagai fotogafer dan cinematografer bekerjasama dengan klien dari industri MIGAS. Dan tulisan ini juga bisa menjadi referensi bagi industri lain selain MIGAS.
Literasi di Indonesia
Dalam kamus Merriam-Webster, dijelaskan bahwa Literasi berasal dari istilah latin ‘literature‘ dan bahasa inggris ‘letter‘; Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, literasi juga tidak sebatas membaca dan menulis, melainkan mencakup melek visual serta kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar).
Sedangkan National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai:
Kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat
Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
Menurut riset dan survei yang dilakukan oleh Institute for Statistic UNESCO tren literasi Indonesia cenderung statis (bahkan pada beberapa kriteria) menurun dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lain di dunia.
Pada satu sisi, informasi yang disampaikan dalam survei tersebut menjadi keprihatinan banyak orang, karena minat membaca bangsa Indonesia (terutama generasi muda) sangat rendah. Namun pada sisi yang lain, hal tersebut dapat diartikan bahwa penyampaian informasi dengan metode konvensional (baca: narasi) saat ini tidaklah cukup, harus ada komponen lain di dalam penyampaian informasi tersebut (baca: konten visual).
Informasi yang kita dapatkan dari sebuah survei tentu wajib disimak dengan hati-hati dan secara seksama, karena hasil survei juga bisa menyesatkan bila didasarkan pada metode serta latar belakang yang tidak tepat. Dan semoga saja saya tidak salah dalam “membaca” serta “memahami” hasil survei tersebut.
Komunikasi Visual dan Industri MIGAS
Dalam kondisi industri MIGAS saat ini yang pada umumnya naik turun dan disertai dengan segudang permasalahan yang ada (Tanpa Migas, Indonesia Kehilangan Investasi Hingga Rp 300 Triliun, IPA CONVEX ke-41 Mencari Solusi Masalah Industri Migas di Indonesia), pemerintah Republik Indonesia tetap berharap kepada industri MIGAS sebagai sumber pemasukan pendapatan negara (Pemerintah Prediksi Penerimaan Negara dari Sektor Migas Meningkat).
Harapan tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para praktisi di lingkungan industri MIGAS. Tantangan dalam menjawab kebutuhan tersebut melalui jumlah produksi yang meningkat, jumlah reservoir ekonomis yang diproduksi, bentuk neraca keuangan dengan profit meningkat naik, melainkan juga juga menjawab beragam pertanyaan dari khalayak umum mengenai apa saja kontribusi praktisi industri MIGAS terhadap lingkungan dan masyarakat.
Masyarakat umum cenderung acuh terhadap kendala yang dialami oleh para pelaku industri MIGAS. Masyarakat kebanyakan berpegang pada keyakinan bahwa industri MIGAS adalah sebuah industri yang kaya dan menjanjikan. Dan sudah sepatutnya memiliki sumbangsih yang positif terhadap masyarakat.
Sehingga ketika pada satu waktu apa yang diharapkan oleh masyarakat umum dari industri MIGAS tidak terpenuhi, lantas kemudian hal tersebut dapat saja berujung pada social unrest.
Berdasarkan informasi diatas maka menurut saya disinilah letak arsiran antara industri MIGAS dan komunikasi visual (fotografi dan video).
Ada indikasi yang jelas, bahwa kita punya kecenderungan “membaca gambar”. Dalam kata pengantar buku “Visual Literacy“; James Elkins menjelaskan bahwa Visual Literacy adalah:
Pemahaman mengenai bagaimana orang menerima dan mencerna informasi, mengartikan apa yang mereka katakan tentang informasi tersebut dan apa yang mereka pahami dari informasi tersebut
Dari pengalaman saya bekerjasama dengan beberapa perusahaan MIGAS (internasional maupun NOC/National Oil Company) serta dari beberapa diskusi, kerap kali saya mendapati bahwa konten visual masih dipandang hanya sebagai pelengkap saja, bahkan tidak penting.
Pada kenyataannya, banyak sekali informasi yang tidak tersampaikan dengan baik karena konten visual (foto, video, infografis) yang menyertainya justru “tidak bicara” mengenai informasi yang akan disampaikan; bahkan tidak jarang malah bertolak belakang.
Penyampaian informasi melalui press release, poster/flyer, dokumentasi fotografi dan video yang dibuat justru membuat target pemirsa informasi itu malah bingung. Karena informasi yang terdapat pada narasi, tidak terwakili dengan baik dalam visualnya.
Tidak mudah memang untuk meracik dan menyajikan konten visual yang tepat dan kuat, agar bisa mendukung informasi yang akan disampaikan. Terutama informasi yang berhubungan langsung dengan stake holder.
Karena masih banyak yang memperlakukan konten visual hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai sebuah asset, maka perlakuan terhadap konten visual masih sangat seadanya saja. Mulai dari konsep visual yang tidak didasarkan pada pemahaman yang benar dan baik terhadap kebutuhan informasi yang akan disampaikan, serta konten visual dibuat sekedarnya.
Dapat dipahami bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi kualitas konten visual yang dibuat, selain konsep visual yang akan dibuat tidak matang (tidak didasarkan pada kebutuhan informasi yang akan disampaikan), juga salah satunya adalah anggaran. Karena mata anggaran konten visual berada pada urutan kesekian, maka kerap kali kebutuhan pembuatan konten visual yang ideal tidak dapat dipenuhi; dan ungkapan “yang penting murah” seakan menjadi kunci.
Selain itu, saat ini para produsen konten visual juga cenderung mengabaikan pemahaman terhadap industri MIGAS pada tahap kreatif.
Entah karena keterbatasan waktu dan sumber daya, atau sekedar menang dulu dalam proses pengadaan/lelang pekerjaan pembuatan konten visual, dan membuat konten visual tanpa memperhatikan hal yang relevan terkait industri MIGAS.
Kebanyakan produsen konten visual hanya terpaku pada hal teknis, tanpa pernah berpikir untuk memberikan saran kepada kliennya perihal kaidah-kaidah konten visual yang baik yang dapat mendukung informasi yang akan disampaikan.
No Picture = HOAX
Kalimat diatas tentu sering kita simak pada banyak media, terutama pada media sosial. Sebuah informasi yang tidak disertai dengan gambar, dapat dianggap sebagai sebuah hoax, terutama bila informasi tersebut terkait dengan subyek/obyek sensitif.
Apakah benar seperti itu? Bagaimana dengan informasi yang disertai gambar, tapi gambarnya tidak mewakili informasi yang disampaikan? Apakah hal semacam itu juga tidak termasuk hoax?
Keterkaitan antara gambar dan informasi yang disajikan sudah barang tentu tidak dapat ditawar lagi. Apabila salah satu komponen dari keduanya tidak terpenuhi, maka besar kemungkinan informasi itu gagal dipahami.
Berangkat dari pengalaman saya selama ini dan dari beberapa informasi diatas itu, maka adalah tugas penting bagi setiap produsen konten visual (fotografer, cinematografer, animator) untuk benar-benar membantu kliennya menggali informasi yang sedalam-dalamnya terhadap konten visual yang akan dibuat.
Kegagalan melakukan riset yang mencukupi akan berakibat pada rendahnya kualitas konten visual yang dibuat serta kualitas pada produsen konten visual di Indonesia. Kualitas yang saya maskud disini bukan sekedar kualitas artistik/tampilan, melainkan relasi antara konten visual yang dibuat dengan informasi yang akan disampaikan.
Dengan melakukan riset yang memadai mengenai informasi yang akan disampaikan juga akan membantu produsen visual bersangkutan untuk menjadi lebih profesional, dan tidak sekedar pembuat konten visual yang kebanyakan.
Demikian. Semoga artikel ini bisa menjadi referensi dan diskusi bagi semua kalangan yang berkepentingan dengan konten visual, khususnya pada industri MIGAS.
Dan berikut ini adalah beberapa foto ketika pelaksanaan IPA CONVEX 2017.
Referensi tambahan:
2 Comments Add yours