Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk berkunjung lagi ke Provinsi Aceh. Tepatnya ke Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Aceh Timur. Saya kesana dalam rangka pengambilan gambar video dan foto untuk PT. Pertamina EP.
Setelah menempuh perjalanan melalui darat sekitar kurang lebih 6 jam dari Bandar Udara Kualanamu Medan, akhirnya kami tiba di Kuala Simpang yang merupakan sebuah Kecamatan di Kabupaten Aceh Tamiang.
Setiap kendaraan yang melalui jalur lintas Sumatera dari Provinsi Sumatera Utara (Medan) menuju ke Provinsi Aceh (Banda Aceh), dipastikan akan melewati Kecamatan Kuala Simpang. Mungkin karena letaknya yang di persimpangan itu, maka namanya adalah Kuala Simpang.
Komplek Rantau
Masih pada hari yang sama, dari Kecamatan Kuala Simpang, mobil yang kami tumpangi menghantarkan kami melanjutkan perjalanan sekitar 10 KM menuju Kecamatan Rantau, yang masih dalam wilayah Kabupaten Aceh Tamiang.
Di Rantau ini kami menginap selama menjalani penugasan dari PT. Pertamina EP. Layaknya komplek perumahan Pertamina yang terdapat di banyak tempat di Indonesia, di Rantu juga terdapat perumahan karyawan Pertamina, sekolah, rumah sakit, fasilitas olah raga, sarana ibadah, termasuk wisma penginapan bagi para tamu perusahaan, dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Kecamatan Rantau adalah salah satu titik sejarah industri MIGAS di Indonesia yang ada di Pulau Sumatera.
Sama seperti di beberapa tempat di Indonesia, seperti di Pekanbaru, Pulau Tarakan, Pulau Bunyu, Kota Sorong, dan daerah-daerah penghasil minyak lainnya, di Kecamatan Rantau juga terdapat banyak sekali sumur-sumur minyak yang ada sejak jaman Belanda dulu. Tidak sekedar sumur-sumur minyak, melainkan juga terdapat banyak sekali Pompa Angguk (Sucker Rod Pump).
Di Kalimantan ada Pulau Tarakan (Kalimantan Utara), dan di Papua ada Klamono (Papua Barat) yang juga merupakan lokasi-lokasi sejarah MIGAS di Indonesia.

Fasilitas-fasilitas produksi seperti pompa angguk itu dapat dengan mudah kita dapati di sekitar Rantau. Menyaksikan fasilitas-fasilitas produksi itu seolah kita diajak untuk mengarungi waktu masuk ke dalam sejarah industri MIGAS di Indonesia ke jaman sebelum Indonesia merdeka.
Fasilitas-fasilitas produksi (yang tidak murah perawatannya itu) juga menunjukan bahwa industri MIGAS masih menjadi sumber pendapatan bagi negeri kita setelah pendapatan melalui Pajak.
Tampur Paloh
Setelah beberapa hari melakukan pengambilan gambar di Rantau dan sekitarnya, kami melanjutkan pengambilan gambar ke pedalaman Aceh. Tepatnya ke sebuah desa yang terletak di Kecamatan Simpang Jernih di Kabupaten Aceh Timur.
Desa itu bernama Tampur Paloh.
Menurut informasi yang saya peroleh, desa Tampur Paloh merupakan desa tertua di Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur.
Warga desa Tampur Paloh dan desa-desa disekitarnya mayoritas adalah warga dari suku Gayo. Mereka berprofesi sebagai petani dan ada juga yang bekerja pada perambah hutan.
Desa Tampur Paloh hanya dapat dijangkau melalui sungai dengan menggunakan kapal kayu bermotor. Serupa dengan daerah-daerah terpencil di Indonesia lainnya yang mengandalkan transportasi sungai; cepat atau lambatnya kita tiba di tujuan tergantung kondisi air pasang atau tidak, serta kualitas kapal motor yang kita gunakan.
Bila dari Kecamatan Kuala Simpang, dibutuhkan waktu sekitar 6 hingga 7 jam untuk mencapai desa Tampur Paloh. Sedangkan bila dari desa Babo atau dari Simpang Jernih, dibutuhkan waktu sekitar 2 jam hingga 2.5 jam (setelah sebelumnya menempuh perjalanan darat sekitar 3 jam dari Kuala Simpang menuju ke desa Babo) untuk bisa tiba di desa Tampur Paloh.
Karena letaknya yang lumayan terpencil serta situasi ketika masih terjadi konflik bersenjata di Aceh, maka desa Tampur Paloh termasuk desa yang tertinggal dan terisolir.
Keterisoliran itu membuat warga desa Tampur Paloh dan desa-desa disekitarnya tidak terjamah oleh layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Sehingga dapat dengan mudah kita dapati warga desa-desa disekitar Tampur Paloh yang masih buta aksara.
Jadi jangan bayangkan di desa Tampur Paloh ada aliran listrik yang baik serta signal telepon/internet. Masuk ke desa Tampur Paloh seolah kembali ke masa lalu. Aliran listrik yang ada merupakan inisiatif warga sendiri dan merupakan hasil patungan dari warga. Listrik hanya ada ketika ada tamu-tamu kehormatan hadir di desa Tampur Paloh atau ketika ada tayangan khusus di televisi dan para warga mengadakan nonton bersama di salah satu rumah warga.
Puluhan tahun masyarakat Tampur Paloh seolah tenggelam dalam kondisi yang serba memprihatinkan. Puncaknya adalah pada tahun 2006 ketika terjadi banjir besar di Sungai Tamiang (banjir besar hingga ke kawasan di Aceh Timur, Aceh Tamiang dan sekitarnya), yang mengharuskan warga desa itu memindahkan/merelokasi lokasi desa Tampur Paloh yang sebelumnya berada di pulau yang berada di tengah aliran sungai Tamiang, ke salah satu bukit yang terdapat di sekitarnya.
Banjir besar itu terjadi karena kegiatan penebangan kayu liar yang dulu amat sangat marak dan sporadis dilakukan di kawasan hutan yang terdapat di hulu sungai Tamiang.
Dengan kondisi yang seperti itu, membuat lingkungan dan alam di sekitar desa Tampur Paloh masih sangat alami dan asri. Pegunungan Leuser seolah menjadi dinding yang kokoh dan anggun di desa Tampur Paloh. Dan sungai Tamiang yang ketika sedang tidak pasang tidak berwarna cokelat melainkan menjadi bening dan jernih.
Sekolah Merdeka
Atas inisiatif beberapa orang, salah satunya adalah Bapak Ali Muda Tinandung, yang berani untuk memberikan sumbangsih tenaga dan dana yang dimiliki untuk memulai proses belajar dan mengajar di desa Tampur Paloh.
Pada awalnya, inisiatif itu mendapatkan tentangan dari banyak warga desa Tampur Paloh dan sekitarnya.
Karena selama puluhan tahun lamanya, anak-anak yang sudah akil balik (perempuan dan laki-laki) akan langsung dinikahkan oleh orang tua mereka. Anak-anak kemudian berkeluarga dan membantu kegiatan orang tua mereka di ladang atau di sawah.
Sehingga tidak jarang kita dapati, pasutri (pasang suami istri) di desa Tampur Paloh dan sekitarnya masih amat belia.
Menurut takaran orang kota, bisa jadi hal tersebut aneh dan cenderung menyedihkan. Namun demikianlah realitas yang harus dihadapi oleh anak-anak Tampur Paloh. Kenyataan yang belum tentu dapat kita pahami dan kita hadapi sebagai “orang kota”.
Melalui perjuangan panjang dan tentu melelahkan, inisiatif Pak Ali beserta kawan-kawannya dan warga Tampur Paloh yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak Gayo dari Tampur Paloh, Tampur Boh, dan desa-desa lain disekitarnya mulai menampakan hasilnya.
Seiring berjalannya waktu, prestasi demi prestasi dalam bidang akademis didapatkan oleh anak-anak didik Pak Ali pada sekolah yang mereka namanya sebagai “Sekolah Merdeka”.
Berawal dari sekolah dengan fasilitas yang amat sederhana (kalau pernah nonton film Laskar Pelangi, kondisi Sekolah Merdeka mirip seperti itu). Bangunan sekolah yang dulu berlantai tanah dan kerap juga menjadi kandang hewan ternak seperti kambing dan ayam, mulai berubah.
Banyak relawan serta bantuan dari banyak pihak yang di dapatkan oleh Sekolah Merdeka. Bantuan yang tentu mereka usahakan sedapatnya untuk dapat mencukupi kebutuhan Sekolah Merdeka.
Karena tenaga-tenaga pengajar di Sekolah Merdeka masih mengandalkan dari tenaga-tenaga sukarela yang berkenan meluangkan waktu, tenaga dan dana pribadi mereka.
Salah satu kisah sedih dari Tampur Paloh adalah ketika ada beberapa tenaga pengajar relawan dari Bandung, yang meninggal dunia sebelum tiba di desa Tampur Paloh karena perahu yang mereka tumpangi terbalik dan tenggelam di riam/jeram Batu Katak yang tepat berada di tengah sungai Tamiang.
Namun demikian situasinya, anak-anak Tampur Paloh dalam segala keterbatasan yang mereka hadapi dan miliki tetap semangat dalam belajar dan menimba ilmu.
Dan untuk merangkum perjalanan saya itu, sudah ada 3 VLOG yang saya buat yang mungkin bisa menjadi referensi bagi anda yang siapa tahu suatu saat nanti juga ingin berkunjung ke desa Tampur Paloh.
Nun jauh disana; di Tampur Paloh, dinding dan sekat-sekat pemisah antar golongan, karya para pemikir-pemikir hebat di pusat negeri yang berebut dan haus kuasa, tak berjejak.
Nun jauh disana; di Tampur Paloh, kami merasa lebih Indonesia.
Kisah dari pelosok Serambi Mekah yang penuh inspirasi dan harapan.
PS: Oiya, sebenarnya Bandar Udara Kualanamu itu tidak terletak dalam wilayah Kota Medan, melainkan terletak dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang di Provinsi Sumatera Utara. Sama seperti Bandar Udara Soekarno Hatta, yang tidak termasuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, melainkan masuk dalam wilayah Kota Tangerang, Provinsi Banten.