Ngintip Presiden Jokowi

Ada petuah dari orang tua yang kira-kira berbunyi demikian:

“Kalau suka mengintip, nanti matanya bintitan lho”.

Hehehehe … Jangan khawatir, mengintip yang satu ini tidak akan bikin kamu bintitan kok 😀

Walau tajuknya menyangkut Presiden Joko Widodo, artikel ini bukan soal PILPRES dan politik, click bait, apalagi artikel pesanan.

Artikel ini mengenai “perjumpaan” saya dengan Presiden Joko Widodo. Kalau biasanya melalui foto dan video, saya “mengintip” melalui kamera, kali ini saya “mengintip” melalui sebuah buku. Ya, sebuah buku yang isinya sederhana, namun sangat lugas, informatif dan sekaligus menginsipirasi.

Sebuah buku yang agaknya dirangkum dari jurnal harian sang penulis. Buku yang mengingatkan saya akan tradisi dan kebiasaan menjurnal yang lazim diajarkan dan diwajibkan dikalangan para rahib dan rohaniwan/rohaniwati Katolik sejak ratusan tahun yang lalu. Dan coba saya ikuti sejak masih kelas 1 SMP dengan menggunakan buku diary dan juga aplikasi wordprocessor jaman dulu seperti: WordStar dan ChiWriter.

Sang penulis merekam dengan lumayan detail tentang kesehariannya yang dekat dengan Presiden Republik Indonesia ke-7 itu. Dekat karena tugas dan tanggung-jawab yang diembannya.

Buku tersebut bertajuk Sudut Istana yang merupakan karya dari Mas Sukardi Rinakit.

SUDUT ISTANA
Sukardi Rinakit
Yogyakarta: Best Publisher (Galangpress Group)
Cet. I, 2018, 150 x 210 mm; viii +286 hlm.
ISBN : 978-602-8620-XX-X

Berkunjung ke kawasan Istana Presiden

Sesuai dengan tajuk buku tersebut, pada tanggal 28 November 2018 yang lalu, saya berkesempatan untuk bertandang ke salah satu sudut Istana Presiden di Jakarta.

Hal itu adalah kali kedua buat saya bertandang dan masuk ke dalam lingkungan Istana Presiden; yang ketika Presiden KH. Aburrahman Wahid sempat “ramah” terhadap masyarakat umum namun kemudian “tertutup” kembali setelahnya, dan pada jaman Presiden Joko Widodo menjadi “ramah” dan “terbuka” kembali untuk publik.

Bisa berkunjung langsung ke kawasan Istana Presiden tentu merupakan kesempatan langka buat saya dan mungkin juga bagi banyak orang. Tidak hanya langka, bagi rakyat jelata seperti saya, rasanya sangat mengesankan.

Khususnya bisa melihat lokasi yang selama ini hanya bisa saya lihat di layar TV, serta bertemu dengan mereka yang mungkin saja menyaksikan langsung proses dan peristiwa-peristiwa bersejarah negeri ini. Sejarah tentang pengambilan keputusan-keputusan penting yang menjadi sejarah bangsa kita.

Perimeter keamanan yang super berlapis dan ketat harus saya lalui sebelum bisa sampai ke tujuan saya saat itu, yaitu bertemu dengan kawan-kawan disana, juga dengan Mas Sukardi Rinakit dan Mas Ari Dwipayana.

Diskusi dan orbolan santai hari itu berlangsung seru dan menyenangkan, dan tidak terasa kehadiran saya disana sejak pukul 15:00 WIB berlangsung hingga pukul 21:30 WIB.

Walau sudah  beranjak malam, tetapi ritme kawasan istana itu seakan mengikuti kota Jakarta yang tidak pernah terlelap. Ketika saya mulai meninggalkan kawasan itu pada pukul 21:30 WIB, masih banyak orang bekerja di gedung-gedung yang terdapat di kawasan itu.

Agaknya semboyan “Kerja Kerja Kerja” oleh Presiden Joko Widodo bukanlah isapan jempol semata, tetapi sungguh merasuk ke seluruh sudut Istana. Komitmen yang tidak mudah dilaksanakan tentunya.

Paling tidak itu yang dapat saya simak ketika itu.

Sudut Istana

Pada akhir diskusi, saya mendapatkan kejutan buku dari Mas Kardi. Buku tersebut berisi tentang kisah-kisah di balik blusukannya Presiden Joko Widodo, juga kisah-kisah tentang perubahan tradisi yang terjadi di Istana Presiden sejak jaman Presiden Joko Widodo serta beberapa kisah inspiratif.

Setelah hampir 2 bulan, akhirnya selesai juga saya menggerayangi buku itu. Halaman demi halaman saya santap dengan seksama, bahkan ada beberapa yang saya ulang membacanya, karena sungguh menarik bahkan lucu dan menghibur.

Terutama kisah-kisah di balik blusukan Presiden itu, banyak cerita-cerita yang bagi orang kebanyakan tidak terbayang terjadi pada tokoh sekelas Presiden Joko Widodo, Ibu Iriana serta para pejabat di kabinet Kerja.

Terkejut sekaligus terhibur membaca kisah-kisah tersebut. Buku tersebut membuat seolah saya menjadi dekat dengan Presiden kita. Saya seakan berada di dalam kisah-kisah yang sejatinya kerap juga kita alami sehari-hari. Kisah yang tidak fenomenal dan bombastis ala film-film propaganda, tapi kisah yang sungguh membumi dan sederhana.

Saya belum ijin ke Mas Kardi, semoga saja beliau tidak keberatan bila saya mengutip beberapa isi buku itu ke artikel ini.


Cek Ulang (Halaman 23)

Saya ingat bulannya, Juli 2015. Tapi saya lupa tanggalnya. Hari itu Presiden Jokowi melakukan kunker ke Banjarmasain, Kalimantan Selatan. Wilayah ini termasuk parah terpapar asap kebakaran hutan dan lahan. Anak-anak jadi ngga bisa sekolah dan masyarakat susah bekerja.

Dari Bandar Syamsudin Noor, Presiden dan rombongan langsung ke lokasi kebakaran. Melihat banyaknya petugas yang sedang bekerja, yang ketika kami datang hanya terlihat kepulan asap di 2-3 titik lokasi, dahi Pak Jokowi sedikit mengernyit. Saya dengar sekitar 2 ribu petugas diterjukan ketika itu. Ini melibatkan TNI, POLRI, dan masyarakat.

Setelah melihat lokasi, Pak Jokowi dan rombongan menuju ke hotel. Tak berapa lama kemudian, setelah Sholat Dhuhur, tiba-tiba Presiden diam-diam kembali ke lokasi kebakaran lahan yang tadi didatangi. Presiden geleng-geleng kepala ketika tahu tempat itu sudah sepi. Tinggal 5-10 petugas yang bekerja.

Anda pasti bisa menduga, apa tindakan tegas Presiden setelah melakukan cek ulang ke lokasi tersebut…

Yang pasti, mobilisasi pura-pura kerja seperti itu sekarang sudah tidak ada lagi.


Puasa (Halaman 39)

Setelah menjadi Inspektur Upacara pada Hari TNI di Cilegon, Banten, 5 Oktober 2015, Presiden Jokowi dan rombongan menuju ke Tangerang. Ini kunjungan kerja ke pabrik sepatu, yang baru saja menambah banyak karyawan meskipun situasi ekonomi global sedang lesu.

Di pabrik itu, Presiden sampai jam 12:30. Para Menteri yang ikut rombongan berpikir, setelah ini pasti menuju sebuah restoran untuk makan siang. Mereka terperangah ketika Presiden ternyata meluncur langsung menuju Jakarta. Beliau kembali ke Istana.

Sampai di Istana sudah pukul 14:00. Lapar sudah tidak bisa ditahan. Para Menteri lupa, hari itu hari Senin. Pak Jokowi biasa puasa Senin-Kamis.

Besoknya di koran muncul berita dan foto: Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Menteri Perindustrian (waktu itu) Saleh Husin, dan Kepala BNP2TKI Nusron Wahid, sedang menikmati makan siang di emperan Warung Tegal seberang istana – entah Menteri-Menteri yang lain makan di mana.


Nasi Kerupuk (Halaman 49)

Ini kejadian yang biasa saja. Bisa dialami oleh siapa saja. Hari itu, 11 November 2015. Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Tuban, Jawa Timur. Banyak sekali titik yang dikunjungi seperti ke PT. Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI). Selain itu, juga berhenti di beberapa tempat untuk menyapa masyarakat. Mereka sangat antusias untuk bisa salaman dengan Pak Jokowi.

Seperti biasa, makan siang menjadi mundur. Kami masuk restoran sekitar jam 3 sore.

Entah karena sudah lama makanan disiapkan (mungkin sejak jam 11:30) atau karena sebab lain, daging sapi yang tersedia di meja sudah keras. Susah digigit. Para perangkat Kepresidenan pada mengeluh.

Dalam situasi itu, Ibu Negara Iriana menengok kiri-kanan. Lalu dengan tenang beliau berdiri dan berjalan ke sudut restoran-mengambil krupuk kampung dari toples besar.

Tanpa mengeluh, beliau melanjutkan makan siang hanya dengan nasi dan kerupuk saja! Kelihatan nikmat juga…


Mencari Bu Susi (Halaman 81)

Dalam menjaga kedaulatan NKRI, Presiden Jokowi tidak mentolelir setiap gangguan atau protes dari negara lain. Ketika China protes karena kapal mereka ditembak oleh kapal perang kita, KRI Imam Bonjol-383, karena memasuki teritori Indonesia, Presiden Jokowi malah menggelar Rapat Terbatas Kabinet di atas kapal perang itu pada tanggal 23 Juni 2016. Bahkan dengan jaket yang biasa dipakai Angkatan Laut, Presiden berfoto di geladak kapal di dekat peluru-peluru kendali. Posisi badannya tegak seakan-akan siap menghadapi segala kemungkinan.

Semua itu menjadi simbol tentang sikap Indonesia yang tidak gentar menghadapi siapa pun.

Sebelum Rapat Terbatas di KRI Imam Bonjol-383 dimulai, Presiden mencari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Bu Susi memnang tidak ada di sekitar ruang yang akan dipakai untuk rapat.

Saya otomatis mencari Bu Susi. Bu Menteri yang tak gentar menenggelamkan kapal-kapal nelayang asing itu, ternyata sedang mojok sendirian di sudut geladak, merokok, sambil “dadah-dadah” menyapa para nelayan yang lalu lalang tak jauh dari KRI Imam Bonjol.


Makanan Wartawan (Halaman 103)

Para wartawan yang bertugas di Istana Negara untuk meliput kegiatan harian Presiden, sejak dulu disediakan makan di Ruang Wartawan. Kalau ada acara malam, maka makan malam pun disediakan.

Hanya selama ini, menurut cerita, sudah bertahun-tahun makanan tersebut disajikan dalam nasi kotak.

Suatu hari Presiden Jokowi tiba-tiba mengunjungi Ruang Wartawan. Beliau ingin melihat fasilitas apa yang kurang, yang bisa mengganggu kenyamanan kerja wartawan istana. Semua wartawan yang ada di tempat itu tentu saja terkejut. Mereka surprise.

Pak Jokowi lebih terkejut lagi ketika mengetahui bahwa makan siang yang disajikan untuk insan pers adalah nasi kotak. Hari itu juga, beliau perintah agar diganti dengan prasmanan.

Sejak saat itu, makanan di Ruang Wartawan disajikan dalam bentuk prasmanan.


Tujuh Menit Saja (Halaman 119)

Setiap kali ada acara di Istana Negara dan meneteri memberikan sambutan pengantar, selalu saja sedikit bertele-tele. Bisa makan waktu 20-30 menit. Demikian juga kalau menteri sedang paparan ketika Rapat Terbatas Kabinet maupun Sidang Paripurna. Ia lebih banyak memberikan laporan kegiatan departemennya dan menguraikan permasalahan yang terjadi daripada mengajukan opsi kebijakanan dan program aksi.

Padahal untuk urusan permasalahan, semua yang hadir, apalagi Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla pasti sudah tahu. Bisa jadi informasi yang diterima Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla jaiuh leih komprehensif. Oleh karena itu, Presiden minta agar menteri yang bersangkutan langsung masuk ke alternatif kebijakan yang perlu diambil dan program aksi yang harus dieksekusi.

“Presentasi jangan panjang-panjang. Alternatif kebijakan dan program aksi kebijakan itu yang perlu didiskusikan. Presentasi maksimum tujuh menit saja,” kata Presiden.

Nah!

Demikian beberapa kisah yang terdapat pada bukut Sudut Istana yang menurut saya menarik. Semoga Mas Kardi nda protes ya isi bukunya dikutip disini 😀

Saya bersyukur dan berterima-kasih untuk buku tersebut, yang menambah wawasan saya mengenai pemimpin kita dan bisa mendapatkan gambaran jelas, bahwa we are in the good hands.

Buat kamu yang ingin memiliki buku ini, bisa menghubungi penerbitnya; Galang Press melalui e-mail ini, atau di toko online ini dan juga mungkin juga ada di toko-toko buku langgananmu.

Demikian, semoga bermanfaat ya. Dan selamat berlibur panjang buat semua (menjelang Imlek 2019).

3 Comments Add yours

  1. romasety says:

    Tengkyu mas Ladung sharingnya; selama ini saia cuma dapat cerita dari mereka yang terima buku itu, tetapi yang di halaman ini bukan cuma cerita. Salam,

    Liked by 1 person

    1. Wah, terima kasih Romo Seti. Syukurlah bila bermanfaat. Seru sih Mo, jadi bisa paham sisi lain keseharian Istana.

      Liked by 1 person

  2. Rafi Akbar says:

    wah saya niatnya mau blogwalking, ternyata masih ada blogger yang menjadikan lamannya sebagai tempat berbagi pengalaman hidupnya. bias jadi bookmark nih!

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.