Duh, amit-amit deh hidup di kampung gitu !!!
Demikian kira-kira ujar seorang kawan saya sekitar bulan Maret 2019 tahun lalu, ketika kami bertemu untuk ngopi santai di salah satu sudut Jakarta Selatan. Saat itu saya baru saja kembali dari penugasan dan ngetrip ke salah satu daerah produksi kerja oil & gas, untuk kegiatan pemotretan industrial.
Kepada kawan saya yang merupakan seorang eksekutif muda pada sebuah perusahaan ternama dunia, saya bercerita tentang rute yang harus saya lewati dan juga bagaimana situasi perkampungan yang kami singgahi. Karena lokasi pemotretan yang jauh dari kota (bahkan jauh dari pusat Kecamatan), dan banyak subjek pemotretan adalah keseharian hidup masyarakat desa yang berada di sekitar daerah operasi MIGAS itu, maka seperti biasa saya selalu menyempatkan diri untuk ngobrol dengan masyarakat desa sebelum melakukan pemotretan.

Untuk mencapai lokasi tersebut, ditempuh melalui jalur sungai dengan durasi tempuh sekitar 3 jam dengan menggunakan speedboat. Jadi kebayang kan jauhnya. Seperti layaknya daerah pelosok Indonesia, fasilitas serta infrastruktur di daerah tersebut amat sangat terbatas. Jangankan internet, sarana air bersih saja sangat terbatas, demikian juga sarana lain seperti sekolah, Puskesmas, dan lain-lain.
Tentu sudah banyak artikel, blog, vlog dan podcast yang mungkin bercerita bagaimana hidup di desa dengan fasilitas yang serba terbatas itu, tapi masyarakat desanya tetap bisa nyaman menjalani hidupnya. Tidak larut dalam hiruk pikuk trending topic di beragam ranah jejaring media sosial.
Pengalaman-pengalaman itulah yang saya utarakan ke kawan saya itu, dan respon dia ya seperti quote diatas. Kawan saya itu shock mendengar semua cerita itu. Dia sungguh tidak memahami bagaimana caranya “orang-orang kampung” itu bisa hidup.
Respon itu sangat bisa saya pahami dan sah-sah saja, karena kawan saya itu bercerita bahwa sepanjang hidupnya selalu berada di kota-kota besar. Kalaupun berada di “pelosok” paling hanya di seputaran Ubud, Labuan Bajo dan Raja Ampat. Ya, buat dia itu daerah pelosok lho đŸ™‚
4 hari yang lalu, kawan saya itu telepon saya. Dia curhat bagaimana susahnya dia saat ini, kerjaan menumpuk karena banyak counterpart dan klien dia yang tidak available karena WFH. Proses bisnis yang tersendat disana sini yang berakibat pada melesetnya forecast/perkiraan bisnisnya, mau belanja kebutuhan keseharian dia dicekam ketakutan akan tertular COVID-19, dll.
Lantas dia bilang demikian:
Pengen hidup di kampung saja !!!

Nah, lho. Saya terkekeh, karena mengingat perkataan dia tahun lalu itu. Lantas saya tanya kenapa seperti itu. Dia menjawab bahwa, untuk saat ini dia berani menempuh apapun selama tidak berada di kota. Entah dia bercanda atau tidak.
Dan saat ini mungkin selain kawan saya itu, juga ada yang berkhayal bahwa ingin hidup jauh dari kota seperti Jakarta. Termasuk saya yang sebenarnya hari ini berencana kembali ke Balikpapan, namun karena mempertimbangkan himbauan untuk tidak bepergian, maka saya berusaha untuk patuh terhadap himbauan itu. Mungkin bila nanti saya bisa mendapatkan kesempatan untuk menjalani proses screening massal yang rencananya akan dilaksanakan pemerintah, dan bila hasilnya negatif, baru saya akan segera kembali ke Balikpapan.
Betapa tidak, sesuai informasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Jakarta menempati peringkat pertama pada daftar penyebaran dan penularan COVID-19. Angka yang mencapai lebih dari 260-an orang itu tentu bukan sesuatu yang bisa dipandang remeh.

Walau pada tabel di atas (mungkin karena keterbatasan informasi yang bersifat real-time, sehingga tidak bisa detail hingga drill-down sampai ke titik lokasi seperti Kelurahan, Kecamatan, RT dan RW), maka ada pernyataan bahwa:
Catatan: titik lokasi yang ditunjukkan pada peta didasarkan pada centroid geografis dan mewakili kasus terkonfirmasi COVID-19 pada tingkat provinsi, serta tidak mewakili alamat tertentu, bangunan, atau lokasi apa pun.
Namun, dari beberapa informasi resmi yang ada dari beragam media massa, mayoritas kasus tersebut berada di perkotaan.
Mungkin karena informasi tersebut informasi-informasi tersebut, maka kawan saya itu merasa dia merasa bahwa dia dan keluarganya akan “lebih aman” kalau berada di daerah pedesaan yang jauh dari kota-kota besar.
Tentu tersebut tidak valid, karena saat ini COVID-19 bisa diderita siapa dan dimana saja, Walaupun memang, daerah di pelosok-pelosok itu apalagi yang jarang ada pendatangnya, bisa jadi kecil kemungkinan terjadinya penyebaran virus COVID-19 di daerah tersebut.
Beberapa informasi yang kiranya bermanfaat terkait COVID-19:
Seperti banyak orang lainnya, saya sendiri juga khawatir dengan situasi saat ini, khususnya karena ada beberapa pekerjaan yang lumayan besar, juga mengalami ketidakpastian karena pendemi COVID-19 itu. Seperti layaknya beberapa unggahan di media sosial dari beberapa kawan saya.

Buat yang ingin tahu bagaimana masyarakat global menghadapi situasi COVID-19, bisa menyimak beberapa cerita yang ada laman berikut ini juga.
Situasi saat ini memang tidak gampang buat kita semua, dan untuk tidak panik juga bukan perkara sederhana. Namun demikian semoga saja kita semua dapat melalui situasi yang sulit ini dengan aman dan sehat.