Yang Baru: Sertifikasi Profesi Bagi Fotografer Di Indonesia

Artikel ini bukan click bait melainkan sharing pengalaman ketika saya berkesempatan untuk mengikuti dan menghadiri kegiatan “Bimbingan Teknis Penyusunan Skema Sertifikasi LSP” yang berlangsung sejak tanggal 8 September 2017 hingga 10 September 2017 di Bogor.

Mengapa saya singgung perihal click bait, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya mengenai sertifikasi bagi para fotografer, selalu saja ramai dan menjadi perbincangan dan diskusi bahkan tidak jarang ada pula yang berujung pada debat kusir.

Dan bisa jadi juga ketika anda menyimak tajuk artikel ini lantas muncul pertanyaan atau pernyataan seperti yang kerap saya dapati dari sesama rekan fotografer ketika wacana sertifikasi fotografer beberapa tahun yang lalu beredar luas, yang kurang lebih seperti berikut:

  • Barang apa lagi ini sertifikasi fotografer?
  • Ga salah nih? Fotografer kok disertifikasi!!
  • Ah pasti sekedar proyek-proyekan saja nih!!
  • Dagangan siapa lagi nih?!
  • Hmm, siapa sih ini yang rese bikin sertifikasi-sertifikasian seperti ini?!
  • Emang siapa mereka? Kok merasa pantas menguji saya?
  • Haduh ini apalagi bedanya dengan sertifikasi yang rame dulu itu?
  • Terus kalau sudah punya sertifikatnya saya akan lancar orderan fotonya?
  • Ah selama ini saya ga pakai sertifkat lancar-lancar job saya?
  • Klien-klien saya ga ada yang nanya tuh saya punya sertifikat fotografi apa saja?
  • Memangnya ada calon pengantin yang akan bertanya soal sertifikat fotografernya?
  • Saya kan juga fotografer, klien saya banyak, job saya juga jalan terus, kok saya ga diundang?

Nah, mungkin saja lantas anda bertanya demikian ke saya:

Kok negatif semua sih Dung, komentar atau pertanyaannya?

Ya, karena memang demikian adanya ketika wacana mengenai sertifikasi kompetensi fotografi beberapa purnama yang lalu. Ada sih yang positif, tapi jumlahnya tergerus oleh komentar yang negatif, seperti:

  • Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu dari dulu
  • It’s about time. Supaya saya bisa ikut lelang proyek foto di luar negeri

Tentu ada beragam pertanyaan atau komentar lainnya dari anda juga. Sah-sah saja sih bertanya atau berkomentar seperti itu, apalagi ketika hal baru ini akan berimbas terhadap mata pencaharian anda, saya dan kita sebagai fotografer.

Saya sendiri baru tahu dan mengerti bahwa ada rencana penerbitan Sertifikasi Profesi ini ketika mendapatkan undangan dari panitia pelaksana.

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, tujuan artikel ini tidak lain tidak bukan adalah sebagai sharing pengalaman saya mengikuti kegiatan tersebut. Semoga melalui sharing ini, anda yang merasa berprofesi sebagai pelaku/praktisi fotografi bisa mendapatkan informasi mengenai rencana penerbitan Sertifikasi Profesi oleh lembaga yang resmi dan diakui oleh negara/pemerintah bagi para fotografer profesional di Indonesia.

Oiya, sebelum diteruskan, perlu saya tekankan lagi bahwa:

  • Artikel ini adalah sharing dari pemahaman saya pribadi, jadi tidak mewakili penyelenggara dan peserta lainnya, serta bukan rilis resmi dari penyelenggara.
  • Artikel ini bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan seperti contoh diatas.

Dari itu saya tidak akan menulis terlampau banyak mengenai teknis kegiatan, karena saya baru pertama kali mengikuti kegiatan BIMTEK itu dan untuk menghindari ada kekeliruan informasi. Namun apabila terdapat informasi yang tidak akurat pada artikel ini mohon dimaafkan.

Siapa Pelaksana Kegiatan

Kegiatan BIMTEK (Bimbingan Teknis) tersebut merupakan prakarsa dari Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Bimbingan teknis serta materi yang disampaikan selama kegiatan itu disampaikan oleh Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP).

Dan kegiatan tersebut merupakan pertemuan ke-4 dari 6 kali pertemuan yang direncanakan. Jadi kegiatan tersebut merupakan join effort dari ketiga lembaga tersebut diatas.

Siapa Peserta Kegiatan

Dalam pelaksanaanya, dilibatkan para pemangku kepentingan dari setiap subsektor yang terkait, yaitu: musik dan fotografi.

Siapa saja para pemangku kepentingan tersebut? Diantaranya adalah:

  • Praktisi (musik dan fotografi)
  • Akademisi (musik dan fotografi)
  • Pengguna (musik dan fotografi)

Para peserta BIMTEK berasal dari beragam daerah di Indonesia. Kalau saya simak dari daftarnya, yang diundang berasal dari:

  • APFI (Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia)
  • IPPA (Indonesia Professional Photographer Association)
  • PFI (Pewarta Foto Indonesia)
  • KADIN (Kamar Dagang Indonesia)
  • Kementerian Pariwisata
  • Lembaga Pendidikan Formal (Perguruan Tinggi)
  • Lembaga Pendidikan Non-Formal (Penyelenggara Kurus/Pelatihan)
  • LESKOFI (Lembaga Sertifikasi Kompetensi Fotografi)
  • Praktisi Fotografi

Kalau saya tidak salah, dari seluruh undangan, tidak semuanya hadir pada kegiatan tersebut. Sangat disayangkan memang, namun yang tidak hadir pada saat itu tentu punya alasannya masing-masing.

Saya mendapatkan undangan untuk hadir pada kegiatan tersebut mewakili saya pribadi yang berprofesi sebagai fotografer.

Latar Belakang Kegiatan

Fotografi sebagai sebuah kegiatan yang titik beratnya adalah kreatifitas (selain tentu ada juga muatan teknis/matematis/bisnis/administrasi/kode etik didalamnya) merupakan salah satu dari 16 subsektor yang diakui keberadaannya oleh BEKRAF. Subsektor yang diakui oleh BEKRAF adalah:

  • Aplikasi dan Pengembangan Permainan
  • Arsitektur
  • Desain Interior
  • Desain Komunikasi Visual
  • Desain Produk
  • Fashion
  • Film, Animasi dan Video
  • Fotografi
  • Kriya
  • Kuliner
  • Musik
  • Penerbitan
  • Periklanan
  • Seni Pertunjukan
  • Seni Rupa
  • Televisi dan Radio

Untuk fotografi, BEKRAF memberikan catatan sebagai berikut:

Perkembangan subsektor fotografi yang cukup pesat tak lepas dari banyaknya generasi muda yang sangat antusias belajar fotografi. Tak sedikit pula dari mereka yang kemudian memutuskan terjun di bidang ini sebagai profesional. Masyarakat pun memberikan apresiasi yang positif terhadap dunia fotografi.

Beberapa pelaku memberikan pendapatnya tentang apa yang masih harus digarap dalam bidang fotografi ini. Pertama, belum adanya perlindungan HKI terutama untuk hak penggunaan karya fotografi. Kedua, belum adanya pengarsipan karya-karya fotografi Indonesia. Dan ketiga, Bekraf diharapkan bisa membantu para fotografer Indonesia mendapatkan perhatian internasional.

Salah satu program yang dilakukan oleh Bekraf adalah sertifikasi terhadap para fotografer. Dengan adanya sertifikasi ini diharapkan ada standar yang jelas terhadap profesi fotografer. Bekraf juga akan memfasilitasi perlindungan HKI terhadap karya-karya fotografi, dan meningkatkan eksposur fotografer lokal ke kancah internasional.

Tidak jarang kita mendapati cerita mengenai pelanggaran terhadap karya fotografi, terutama pada ranah komersial/berbayar. Baik itu pelanggaran yang bersifat administratif (perdata) bahkan sampai dengan pelanggaran secara hukum pidana (HKI).

Dalam pembukaan kegiatan BIMTEK itu,  Mas Ari Juliano Gema sebagai Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi BEKRAF memaparkan beberapa fakta seputar ekonomi/industri kreatif yang lumayan mengejutkan. Salah satunya adalah:

Radio-radio di Malaysia diberi kuota/batas untuk memutar lagu Indonesia. Hal itu dikarenakan pemerintah Malaysia mengganggap bahwa lagu-lagu yang berasal dari Indonesia merupakan ancaman bagi lagu-lagu asli Malaysia.

Sedangkan BNSP sebagai lembaga negara yang berwenang untuk memberikan pengakuan terhadap sebuah Sertifikasi Profesi dan lembaga pengujinya memiliki kepentingan untuk menentukan standar profesi yang sama di seluruh Indonesia, termasuk di dalamnya adalah profesi fotografer.

BNSP itu sendiri adalah:

BNSP merupakan badan independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki kewenangan sebagai otoritas sertifikasi personil dan bertugas melaksanakan sertifikasi kompetensi profesi bagi tenaga kerja. Pembentukan BNSP merupakan bagian integral dari pengembangan paradigma baru dalam sistem penyiapan tenaga kerja yang berkualitas. Berbeda dengan paradigma lama yang berjalan selama ini, sistem penyiapan tenaga kerja dalam format paradigma baru terdapat dua prinsip yang menjadi dasarnya, yaitu : pertama, penyiapan tenaga kerja didasarkan atas kebutuhan pengguna (demand driven); dan kedua, proses diklat sebagai wahana penyiapan tenaga kerja dilakukan dengan menggunakan pendekatan pelatihan berbasis kompetensi (Competency Based Training / CBT). Pengembangan sistem penyiapan tenaga kerja dengan paradigma baru ini dimulai pada awal tahun 2000 yang ditandai dengan ditandatanganinya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pendidikan Nasional, Ketua Umum Kadin Indonesia.

Dari penjelasan yang saya pahami (semoga tidak salah) selama kegiatan BIMTEK itu adalah; apabila ada sebuah sertifikasi yang dinyatakan sebagai sertifkasi profesi dan diterbitkan oleh lembaga profesi di Indonesia, tetapi belum mendapatkan pengesahan dari BNSP, maka sertifikasi profesi itu tidak valid statusnya sebagai sertifikasi profesi.

Tujuan Kegiatan

Dari penjelasan diatas, dapat saya simpulkan tujuan kegiatan tersebut adalah sebagai salah satu rangkaian kegiatan yang berkesinambungan untuk:

  • Menyusun dan menetapkan standarisasi sertifikasi profesi sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia
  • Menyusun dan menetapkan standarisasi sertifikasi profesi sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/klien/industri saat ini
  • Menyusun kepengurusan, menetapkan kepengurusan dan membentuk sebuah LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) Fotografi di Indonesia
  • Pembentukan dan peresmian LSP Fotografi akan dilakukan pada bulan Oktober 2017

Dari beberapa kali berdiskusi dengan kawan-kawan yang terlibat dalam pembentukan LSK (Lembaga Sertifikasi Kompetensi) Fotografi dan juga kali ini, adalah tidak mudah untuk membuat suatu standar yang bisa mendapatkan pengakuan dari negara. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, dana yang tidak sedikit, dan juga pemikiran yang matang serta amat cermat.

Butuh banyak diskusi serta adu argumentasi dalam penyusunan argumentasi semacan ini. Terlebih apabila standarisasi yang ditetapkan itu nanti akan melibatkan unsur dana/finansial, yang bisa jadi akan menuai kontroversi.

Bentuk Kegiatan

Seperti kegiatan lain pada umumnya, setelah dilakukan pembukaan oleh penyelenggara, maka dilanjutkan dengan bahasan teknis.

Para peserta yang terdiri dari kelompok musik dan fotografi dibagi ke dalam 2 ruang kelas yang berbeda.

  • Kelas Pertama ditujukan bagi mereka yang akan menjadi pengurus LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi).
  • Kelas Kedua ditujukan bagi mereka yang membahas penyusunan dan pembentukan skema sertifikasi profesi. Untuk subsektor musik dan fotografi dipisah sesuai dengan bidangnya.

Saya sendiri masuk dalam ruang kelas yang kedua, karena saya dimintai pendapat sebagai praktisi.

Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Profesi

Saat ini untuk fotografi, sudah ada Sertifikasi Kompetensi Fotografi yang remi diakui oleh negara. Dan sertifikasi kompetensi itu diterbitkan oleh LESKOSI. LESKOFI adalah LSK (Lembaga Sertifikasi Kompetensi) bidang Fotografi yang resmi dan diakui oleh negara.

Setelah bertanya kesana dan kemari, bertanya ke mereka yang lebih paham, saya menyimpulkan perbedaan antara Sertifkasi Kompetensi dan Sertfikasi Profesi adalah sebagai berikut:

Sertifikasi Kompetensi:

  • Untuk mendapatkan sertifikasi kompetensi HARUS melalui ujian.
  • Saat ini Sertifikasi Kompetensi Fotografi yang diakui negara diterbitkan oleh LESKOFI.
  • Sertifikasi Kompetensi ditetapkan berdasarkan SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia).
  • Sertifikasi Kompetensi mengenal sistem level/tingkat; tingkat 1 sampai tingkat 9.
  • Sertifikasi Kompetensi tidak mengenai kadaluarsa.
  • Sertifikasi Kompetensi dapat dimiliki oleh siapa saja yang ingin mengukur kompetensi fotografinya dan tidak harus seorang fotografer profesional.
  • Sertifikasi Kompetensi salah satunya bertujuan untuk mengakui kemampuan/kompetensi seseorang yang diperoleh melalui lembaga pendidikan non-formal.

Sertifikasi Profesi:

  • TIDAK dibutuhkan ujian untuk mendapatkan Sertifikat Profesi Fotografi.
  • Sampai dengan artikel ini ditulis, LSP masih sedang dalam tahap pembentukan.
  • Sertifikasi Profesi tidak mengenal konsep level/tingkat.
  • Sertifikasi Profesi harus diperbaharui dalam kurun waktu tertentu.
  • Sertifikasi Profesi HANYA diperuntukan bagi mereka yang berprofesi sebagai fotografer.
  • Sertifikasi Profesi dapat diperoleh setelah melalui proses assessment portfolio/riwayat pekerjaan fotografi yang dapat diverifikasi.
  • Sertifikasi Profesi merupakan pengakuan negara (melalui LSP) terhadap seorang fotografer profesional.
  • Walaupun pada akhirnya Sertifikasi Profesi juga mengacu kepada SKKNI, namun pada Sertifikasi Profesi juga menggunakan standar Okupasi Nasional dan Klaster/penggolongan jenis pekerjaan.

Harap dicatat lagi, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut merupakan pemahaman pribadi saja, dan bisa saja hal tersebut salah atau kurang akurat.

Sedangkan persamaan dari keduanya adalah:

  • Diakui secara resmi oleh negara/pemerintah
  • Keduanya diterbitkan oleh lembaga sertifikasi yang independen

Apakah dimungkinkan untuk mendirikan dan membentu sebuah LSP baru selain LSP yang sudah ada, walaupun bidangnya sama? Menurut informasi yang saya dapatkan selama pelaksanaan BIMTEK; hal itu DIMUNGKINKAN.

Tentu saja selama pengajuan LSP baru itu sesuai dan sejalan dengan tujuan negara serta terbukti valid dibutuhkan dan menempuh prosedur yang sudah ditentukan.

Catatan

Berikut ini ada beberapa hal yang menurut saya penting yang mungkin bisa menjadi bahan permenungan anda juga:

  • Bahwa membuat dan menyusun sebuah standarisasi bagi profesi yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup banyak orang itu tidak mudah. Dibutuhkan banyak pengorbanan; waktu, tenaga dan dana dalam pelaksanaannya.
  • Bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik dan konsisten dari seluru pemangku kepentingan fotografi komersial/berbayar di Indonesia, agar kita semua bisa mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari inisiatif negara/pemerintah ini.
  • Bahwa dibutuhkan sosialisasi/penyampaian informasi yang konsisten dan terus menerus mengenai inisiatif ini, agar informasi yang tersampaikan valid serta akurat.
  • Bahwa ada keterbatasan sumber daya dalam penyusunan standar skema sertifikasi profesi ini, sehingga kita diharapkan dapat memaklumi keterbatasan itu, misalkan tidak semua pemangku kepentingan dapat dilibatkan secara langsung dalam kegiatan penyusunan standarisasi skema sertifikasi profesi fotografi.
  • Bahwa skema sertifikasi profesi fotografi yang sudah disusun akan terus mengalami pengembangan. Sehingga, apabila ada komponen yang saat ini belum masuk dalam skema sertifikasi profesi, maka akan dapat dimasukan dikemudian hari, sesuai dengan usulan para pemangku kepentingan.

Dari catatan itu, apabila berkenan, saya ingin mengajak anda sekalian sebagai sesama pelaku profesi fotografi, untuk bersama-sama membantu kawan-kawan yang saat ini sedang berusaha sebagai perpanjangan tangan kita dalam menetapkan standarisasi profesi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan saat ini. Sehingga profesi kita sebagai fotografer dapat benar-benar bermartabat dan bisa mensejahterakan kita semua.

Demikian. Semoga bermanfaat dan berkenan.

Berikut beberapa foto dari kegiatan itu:

Tautan-tautan yang terkait:

6 Comments Add yours

  1. harSOS says:

    C4D4455

    Like

  2. Berikut ralat dan koreksi dari Kang Deni Sugandi yang disampaikan ke saya:

    “BNSP bukan satu-satunya lembaga yang mengeluarkan sertifikasi.”
    “Mekanismenya melalui permintaan stakeholder, pemangku kepentingan, kemudian diwujudkan menjadi skema oleh komite skema (unsurnya stakeholder, akademisi, pakar, user/industri). Kemudian diajukan ke BNSP oleh LSP untuk diverifikasi (metodologi, kebutuhan, pengusul skema). Kemudian digunakan LSP sebagai “menu jualan”.
    “LSP = melayani permintaan dari masyarakat (baca. profesi fotografi). karena menganut ISO 14001, harus bisa memenuhi segala lapisan masyarakat; difabel, hingga latar belakang akademis.”

    Like

  3. Berikut ralat dan koreksi dari Kang Harry Reinaldi yang disampaikan ke saya:

    “Yang menerbitkan Sertifikat Kompetensi bila lulus dari Uji Kompetensi di LSK, bukan LESKOFI melainkan DITBINSUSLAT (Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan). DITBINSUSLAT di bawah Dirjen Pauddikmas (Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini, dan Pendidikan Masyarakat), yang berada di Kemdikbud RI (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia).”

    Like

    1. harSOS says:

      Baik Sertifikat dr Ditbinsuslat maupun dr LSP (BNSP), keduanya mncantumkan logo Garuda Pancasila (emas/kuning), sbg tanda pengakuan resmi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di lingkup nasional, maupun internasional. Hal tsb (internasional) dikarenakan pada kedua sertifikat tsb, sdh menggunakan 2 bahasa, Indonesia dan Inggris, sbg pnguatan memo ksepahaman antara Indonesia dgn bbrp negara mitra.

      Like

  4. Seharusnya ditanggapi positif, karena menurut hemat saya yang masih awam dalam urusan birokrasi, sertifikasi seharusnya dikeluarkan atau setidaknya diinisiatifkan oleh regulator, dalam hal ini adalah Pemerintah. Pemerintah memiliki kuasa untuk membuat dan mensyaratkan sertifikasi untuk menjadi kelengkapan profesi.
    Semoga dalam proses penyusunan lancar dan memberikan dampak positif bagi dunia fotografi Indonesia ya.

    Sukses kak!

    Like

  5. Herry suryanto says:

    Saya kira sertifikasi fotografi ini sangat positif. Mohon informasinya harus mendaftar kemana dan apa syaratnya apabila saya bermaksud untuk mendapatkan sertifikasi keahlian dibidang fotografi?

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.