Minggu lalu ada seorang kawan yang “curhat” ke saya karena beberapa fotonya yang diunggah ke Instagram dihapus oleh Instagram dan akunnya juga ditangguhkan (suspend) oleh Instagram, karena dianggap melanggar Kebijakan Umum yang telah ditentukan oleh pengelola platform tersebut.
Kisah dari kawan saya itu adalah salah satu dari sekian banyak cerita yang saya dapat dari beberapa kawan lainnya dan juga orang lain yang mengalami hal serupa pada ranah media sosial.
Respon untuk kisah-kisah semacam itu bisa beragam, ada yang terkejut, ada yang marah dan tidak terima, tapi ada juga yang justru biasa-biasa saja.
Bagi mereka yang mencari nafkah dari karya visual (grafis, infografis, foto dan video), tentu kisah penghapusan konten tersebut menjadi hal serius. Karena media sosial adalah salah satu sarana andalan untuk melakukan promosi bagi banyak orang, termasuk pekerja visual.
Promosi melalui jejaring media sosial dipandang lebih efektif, karena murah, mudah penggunaannya, dan juga terbukti ampuh karena media sosial telah bersanding dengan kebutuhan primer lainnya.
Membaca Gambar
Sejak kuartal ketiga tahun 2018 hingga akhir tahun 2019, saya diminta oleh Kementerian Pariwisata dan juga Komisi X DPR-RI berkeliling ke beberapa tempat di Indonesia sebagai nara sumber pada kegiatan bimbingan teknis (BIMTEK) tentang strategi digital dan komunikasi visual dalam kaitannya dengan revolusi industri 4.0.
- Pentingnya Membangun Ekosistem Pariwisata Digital di Era Industri 4.0
- Usung Tema Pentingnya Peran Publikasi Digital Pada Era Millenial, Kemenpar Gelar Bimtek Strategi Pemasaran Pariwisata
- Pentingnya Membangun Ekosistem Pariwisata Digital Di Era Industri
- Strategi Pemasaran Pariwisata Jambi di Era Millenial 4.0
- Goes To Campus Kemenpar Jadi Grand Strategi Pariwisata Era 4.0
Dari beberapa riset kecil-kecilan yang saya lakukan sejak tahun 2012, saya menemukan satu fakta yang lumayan jelas (paling tidak menurut saya), yaitu:
Kita Membaca Gambar
Perkembangan teknologi pada ranah media sosial seakan membentuk tabiat masyarakat global menjadi tergantung dengan produk visual. Rasanya kurang afdol bila kita menggunakan jejaring media sosial tanpa disertai dengan dokumentasi visual (grafis, infografis, foto & video).
Bahkan sekitar tahun 2002, ketika jejaring Friendster (salah satu jejaring media sosial), mulai merangsek masuk ke dalam sendi-sendiri kehidupan manusia, muncul satu seloroh yang marak digunakan:
No Pic Hoax
Secara sederhana dapat dimaknai bahwa informasi yang beredar tapi tidak disertai oleh dokumentasi visual, maka akurasi dan kebenaran informasi tersebut patut diragukan.
Dan seakan saling mendukung satu dengan yang lainnya, saat ini perangkat digital yang kita gunakan bisa dipastikan sudah dilengkapi dengan fitur untuk mengambil gambar (foto & video).
Para produsen perangkat seperti telepon seluler, perangkat tablet, komputer genggam, dll, berlomba-lomba untuk memanjakan pelanggannya dengan teknologi kamera terbaik agar bisa menghasilkan gambar-gambar yang memukau untuk (paling tidak) diunggah ke media sosial.
Produsen perangkat digital jeli melihat peluang, mulai dari urusan yang paling sederhana, seperti misalkan kegiatan memasak di dapur, membersihkan rumah, rebahan, sampai hal serius seperti belajar jarak jauh, bekerja dari rumah, membutuhkan tampilan foto dan video.
Apalagi saat ini, ketika kita diminta untuk sedapat mungkin tidak keluar rumah, sehingga kebutuhan kita untuk berinteraksi secara sosial dan bertemu dengan orang lain menjadi terbatas.
Untuk mengisi kekosongan interaksi langsung, lantas kita menggantinya dengan bertatap muka secara visual. Dan itu berarti semakin canggih perangkat kamera yang kita gunakan, dan semakin baik hasil gambarnya, maka semakin kita dapat berinteraksi dan “membaca”.
Gambar dan Hoax
Kita mendapatkan kebebasan seluas-luasnya untuk menggunggah gambar-gambar yang kita hasilkan ke media sosial. Di Indonesia paling tidak hal itu terjadi sampai pada puncaknya sekitar tahun 2014, dimana pemerintah Republik Indonesia mulai “peka” terhadap perderan informasi palsu/hoax mulai tahun 2014.
Walau sebenarnya pada tahun 2008, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); dengan kasus perdana terkait UU ITE adalah Prita Mulyasari, namun pemerintah Republik Indonesia baru benar-benar garang soal hoax pada tahun 2014, dengan memblokir layanan aplikasi Telegram di Indonesia, dan kemudian dilakukan kembali pada tahun 2019, ketika pemerintah memblokir akses layanan media sosial secara nasional di Indonesia.
Saya membuat dua artikel sebagai pengingat tentang ramainya peredaran hoax di Indonesia. Pada tahun 2015, saya menulis; Andaikan Romo Mangun dan Gus Dur punya akun Twitter dan Facebook; dan para praktisi “Ilmu Kutip”, yang saya lanjutkan pada artikel tahun 2017; No Picture = Hoax.
Dokumentasi visual (grafis, infografis, foto dan video) kerap menjadi pelengkap “sajian” hoax yang beredar. Karakteristik hoax yang pada umumnya menggunakam redaksional yang bombastis dan disertai dengan data/angka itu, seakan terasa kurang lengkap bila tidak disertai dengan cuplikan foto dan video yang dramatis.




Kekuatan dari sebuah atau beberapa gambar, menjadi faktor WOW dan salah satu kunci keberhasilan pada penyebaran hoax. Apalagi bila hoax yang diedarkan itu berkaitan dengan isu-isu sensitif, seperti agama, kesukuan atau isu rasial.
Apakah saat ini hoax menjadi reda? Oh tentu saja tidak. Karena hoax itu adalah bisnis mega fantastis. Banyak pihak yang ingin mencapai tujuan mereka dengan menggunakan hoax.
Selain beberapa hal yang saya sebutkan diatas, penyebaran hoax yang efektif adalah dengan memanfaatkan kondisi/momentum masyarakat yang sedang kalut, gundah, gelisah dan bingung.
Situasi pandemi saat ini adalah contoh nyata momentum yang paling tepat dalam penyebaran hoax. Penyebaran yang modus operandinya bisa beragam; ada yang sekedar ingin memperkeruh suasana, ada yang ingin meningkatkan jumlah subscriber dan follower dalam waktu singkat, sampai dengan hoax yang disebarkan untuk menguncang situasi politik sebuah negara.
Gambar yang Berbahaya
Lantas apa kaitannya penjelasan dengan tajuk artikel ini?
Jadi begini, kemarin saya membaca sebuah berita, tentang penghapusan konten foto dan penangguhan/suspend akun media sosial yang dialami oleh Olga Shirnina. Olga adalah seorang juru alih bahasa/translator Rusia-Jerman, yang sekaligus adalah seorang colorist foto yang handal.
Selain bekerja sebagai translator, Olga sehari-hari juga melakukan modifikasi terhadap beberapa foto lama (hitam putih) menjadi foto berwarna. Dan untuk kegiatannya tersebut, Olga didapuk menjadi salah seorang colorist terbaik dunia.
Mungkin karena berasal dari Rusia dan terkait dengan alih bahasa Jerman, maka Olga menggunakan foto-foto lama dari jaman Perang Dunia Pertama dan Kedua yang melibatkan kedua negara tersebut.
Nah, yang menjadi persoalan adalah ketika beberapa foto yang dia kerjakan itu, diunggah ke media sosial. Beberapa foto perang dunia kedua itulah yang membuat unggahannya harus dihapus, bahkan dia terancam akan kehilangan akunnya di media sosial.

Penerapan teknologi Machine Learning dan Artificial Intelegence atau Kecerdasan Buatan yang telah digunakan oleh jejaring media sosial ternama dunia, membuat proses seleksi terhadap konten di media sosial dapat menjadi lebih massive dan juga cepat.
Pada kasus Olga, ada beberapa unggahan fotonya yang dihapus secara otomatis karena melanggar ketentuan yang berlaku pada jejaring media sosial, namun ada juga beberapa unggahan yang dihapus karena diadukan oleh pihak lain. Saya sendiri sering melaporkan beberapa konten di media sosial, yang menurut saya tidak sesuai dengan fakta atau melanggar ketentuan yang berlaku.
Foto-foto berwarna hasil oleh digital Olga yang menurut Facebook dan Instagram masuk dalam kategori “berbahaya” itu adalah sebagai berikut.

Beberapa bulan kemudian, beberapa foto karya olah digitalnya juga dihapus dari Facebook dan Instagram.
Hal itu berbuntut pada ditangguhkannya/suspend akun Olga di Facebook, setelah dia menggunggah sebuah foto berwarna yang menampilkan dua orang tentara Nazi yang sedang bertempur di Ukraina.
Walau pada foto berikut ini tidak menampilkan lambang/logo Nazi, namun penghapusan foto bisa jadi karena ada aduan pengguna Facebook, dan bukan karena proses seleksi otomatis. Dan kali ini Olga mendapatkan peringatan terakhir dari Facebook, apabila dia masih mengunggah konten yang terkait dengan organisasi terlarang lagi, maka akun Facebook-nya akan dihapus secara permanen.

Kita yang berada di Indonesia, mungkin tidak terlampau terganggu dengan kedua foto diatas itu. Yang memang secara estetik memukau, karena Olga berhasil merubah foto-foto yang sebelumnya hanya hitam dan putih, menjadi foto yang sedemikian hidup dan berwarna, juga dramatis.
Tapi pengguna jejaring media sosial itu kan jumlahnya miliaran orang, sehingga tidak tertutup kemungkinan, apa yang menurut kita biasa-biasa saja, malah menjadi suatu hal yang sangat mengganggu bagi orang lain.
Saya tidak akan menanggapi tentang kasus Olga itu, namun kasus yang dialami oleh Olga dengan Facebook dan Instagram tersebut, bisa menjadi catatan bagi kita sebagai produsen dokumentasi visual (grafis, infografi, foto dan video) dan juga sebagai pengguna aktif media sosial, untuk berhati-hati untuk mengunggah konten di jejaring media sosial.
Apalagi saat mayoritas dari penduduk dunia menjadi bingung, gundah, gelisah, khawatir bahkan takut, dengan kondisi sekarang yang serba penuh dengan ketidakpastian.
Keterampilan jari-jemari kita berselancar di media sosial, memiliki peran yang penting dalam berkegiatan di media sosial.
Bahkan beberapa hari yang lalu, sebuah media berita daring ramai menjadi perbincangan di Indonesia, karena dipandang telah menerbitkan berita yang tidak berimbang tentang Presiden Joko Widodo yang berakibat pada hujatan disana sini terhadap media tersebut. Apalagi pada berita-berita yang disampaikan oleh media tersebut, menggunakan “kekuatan” foto pada berita yang disampaikannya.
Walaupun sebuah metode yang lazim digunakan oleh banyak media, namun ternyata banyak orang yang beranggapan bahwa trik click bait yang digunakan media online tersebut sudah keterlaluan.
Mungkin hujatan-hujatan tersebut tidak berakibat secara fisik terhadap media yang bersangkutan, tapi bisa saja berakibat pada jatuhnya kredibilitas media yang bersangkutan, yang mungkin saja juga berpengaruh dalam pendapatan dari sisi iklan.
Untuk menghindari agar kita tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh Olga, maka sebagai pengguna jejaring media sosial, juga sebagai produsen konten; teks, foto, video, yang akan diunggah secara daring, sebaiknya membaca dan memahami dengan baik dan benar segala ketentuan yang telah diterapkan oleh jejaring media sosial yang bersangkutan.
Mungkin membaca akan menjadi usaha yang amat sangat berat bagi banyak orang, khusus bagi generasi milenial yang matanya sudah dimanjakan oleh produk-produk visual, namun saya tetap menyarankan untuk sedapatnya membaca aturan-aturan tersebut seperti yang sudah tercantum pada tautan-tautan berikut ini.
- Standar Komunitas Facebook
- Panduan Komunitas Instagram
- Pedoman Komunitas YouTube
- Peraturan Kebijakan Twitter
- Panduan Komunitas Pinterest
Atau kalau memang males banget membaca, maka bisa juga menyimak beberapa informasi terkait pada kanal YouTube #ngobroldisiniyuk berikut ini.
Mari kita menjadi produsen konten yang bertanggung-jawab, agar konten yang kita unggah ke internet bisa benar-benar punya makna positif dan menghindarkan kita dari dampak buruk ber-internet.
Semoga kita semua tetap bisa #dirumahaja agar pandemi ini bisa segera berakhir dan kita bisa beraktifitas dengan normal yang baru.
Referensi tambahan: