MetaHuman; Manusia Digital Untuk Hoax. Mungkingkah?

Pada bulan Mei 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), mencatat sedikitnya terdapat sekitar 1.401 konten yang dikategorikan sebagai hoax yang beredar di internet. Lantas pada bulan Maret 2021, kembali Kemkominfo menemukan paling tidak ada sekitar 2.686 unggahan di internet yang dilaporkan sebagai hoax.

Adapun rincian temuan Kemkominfo pada bulan Maret 2021 itu unggahan hoax yang ditemukan tersebar pada beberapa jejaring media sosial, yaitu: Facebook sebanyak 2.117 konten hoaks, Twitter 496 konten hoaks, Instagram 24 konten dan Youtube 49 konten. Kalau disimak pada laporan tersebut, konten hoax yang beredar didominasi oleh konten yang diunggah pada pelantar Facebook.

Apabila sebelumnya hoax marak di Indonesia terkait dengan isu Pemilihan Presiden (seperti tulisan saya disini), maka dalam rentang waktu 12 bulan terakhir, hoax yang beredar adalah pada isu seputar pandemi dan SARS-Cov 19.

Sejarah mencatat, pada era modern hoax sebenarnya bukan barang baru. Salah satu contohnya adalah para tahun 1835, harian The Sun di kota New York yang menerbitkan 6 artikel tentang penemuan kehidupan di Bulan.

Saat ini kita hidup pada era yang padat teknologi, yang membuat seakan kita tidak memiliki batasan (borderless) terhadap arus informasi.

Perkembangan teknologi membuat penyebaran hoax atau informasi palsu menjadi amat sangat mudah. Kemudahan itu didukung dengan tabiat banyak pengguna teknologi (internet/media sosial) saat ini yang enggan membaca serta malas untuk memastikan apakah informasi yang diterima itu benar atau tidak, paling tidak memastikan apakah informasinya berasal dari sumber yang dapat dipercaya dan bertanggung-jawab untuk informasi tersebut.

Metode penyebaran yang lazim kita pun beragam; ada yang sekedar pesan berantai yang disampaikan pada aplikasi perpesanan dan jejaring media sosial.

Bentuk Hoax

Hoax yang beredar tidak sekedar dalam bentuk tulisan/artikel, melainkan juga dalam bentuk gambar statis/2D seperti infografis, meme, karikatur, poster sampai dengan video. Bahkan terdapat pula beberapa hoax yang dikemas dalam bentuk jurnal ilmiah.

Masing-masing bentuk hoax yang dipilih itu tentu bukan tanpa sebab. Alasan mayoritas dipilihnya bentuk-bentuk hoax tersebut diantaranya adalah:

  • Tabiat pengguna internet (khususnya media sosial) yang enggan bahkan cenderung malas membaca, khususnya di Indonesia
  • Memanfaatkan perilaku pengguna internet yang cenderung enggan untuk lebih teliti dalam menerima informasi yang diterima di internet (khususnya media sosial)

Kalau diperhatikan dengan seksama, beberapa alasan di atas kiranya sangat valid, terutama dalam situasi pandemi saat ini. Kita kerap menemukan unggahan yang sumber informasinya sulit untuk dipastikan akurasinya, namun marak beredar di internet, karena dikemas sedemikian rupa.

Topik/Tema Hoax

Tidak jarang, kemasan hoax tersebut adalah bagian atau potongan dari sebuah informasi yang sengaja dimanipulasi (baca: dipotong) sedemikian rupa untuk mendukung konteks atau tema tertentu.

Menurut saya, para penebar hoax itu jeli melihat peluang. Selain kemasan yang sedemikian rupa menarik mata, unggahan hoax itu juga memanfaatkan isu yang bisa menarik orang untuk menyimak dan menyebarkannya lagi, seperti:

  • Isu rasial
  • Isu agama
  • Isu politik
  • Isu ekonomi
  • Isu kesehatan
  • Isu keamanan
  • Isu bencana alam

Pandemi saat ini memberikan dampak besar terhadap banyak orang, terutama dalam hal ekonomi. Semua orang apapun latar belakangnya, mayoritas mengalami tekanan ekonomi yang tidak kita prediksi sebelumnya.

Saya bukan psikolog, tapi rasanya tidak terlampau sulit untuk memahami kondisi batin banyak orang saat ini, yang serba berada di dalam ketidakpastian. Ada yang harap-harap cemas apakah akan tetap bisa mempertahankan pekerjaannya, ada yang berhitung ulang tentang gaji para karyawan, hingga hal-hal dasar seperti besok masih bisa makan atau tidak, bisa bayar cicilan atau tidak, dan lain sebagainya.

Kalau diperhatikan dengan seksama, penyebaran hoax dengan memanfaatkan isu atau sentimen-sentimen tersebut, amat sangat efektif untuk mendapatkan engagement dari targetnya.

MetaHuman si Manusia Digital?

Diantara anda mungkin pernah atau bahkan sampai dengan sekarang menggunakan aplikasi-aplikasi Reface, MyHeritage, Zao, FaceSwap, Wombo, dll.

Pada prinsipnya, kerja aplikasi-aplikasi tersebut adalah untuk meniru mimik manusia. Membuat kita seakan-akan berada menjadi orang lain pada situasi atau lokasi tertentu, biasanya digunakan untuk hiburan dengan mengganti wajah seorang artis pada sebuah adegan film dengan wajah kita.

Aplikasi semacam itu menggunakan teknologi yang disebut sebagai DeepFake. DeepFake sendiri memanfaatkan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (disingkat menjadi AI) yang sedang saat ini sedang mengalami perkembangan luar biasa pada banyak sendi kehidupan manusia.

Sebagai seorang fotografer, saya tidak luput dari serbuan AI juga. Banyak aplikasi perangkat lunak fotografi digital yang saat ini memanfaatkan AI sebagai salah satu pendukung kegiatan fotografi. Mulai dari menghilangkan tampilan latar belakang, hingga sampai pada fungsi untuk menentukan titik fokus setelah sebuah foto dibuat.

Upaya untuk meniru manusia juga bukanlah hal baru, mulai dari robot yang menggantikan peran manusia di banyak pabrik, hingga percobaan melakukan kloning (duplikat) dari seekor domba pada tahun 1996 yang dilakukan oleh seorang pakar biologi; Ian Wilmut, di Roslin Institute, Skotlandia.

Domba tersebut diberi nama Dolly, bisa bertahan hidup sejak tahun 1996 hingga tahun 2003. Bahkan Dolly juga memiliki keturunan, yaitu Rosie, Cotton, Darcy, Bonnie, Lucy dan Sally.

Dengan berbagai pertimbangan (khususnya ekonomi) AI menjadi semakin pesat dan pintar. Hal ini dibuktikan dengan diumumkannya MetaHuman. Bila pada DeepFake kita masih bisa merasakan ada yang janggal pada tampilannya, pada MetaHuman, kejanggalan tersebut sudah lumayan sulit untuk dideteksi.

MetaHuman adalah sebuah teknologi yang merupakan besutan dari Epic Game, Inc., sebuah perusahaan produsen aplikasi permainan yang berbasis di Cary, Carolina Utara di Amerika Serikat. Perusahaan yang didirikan oleh Tim Sweeney awalnya bernama Potomac Computer Systems dan dirikan pada tahun 1992 di Potomac, negara bagian Maryland di Amerika Serikat. Beberapa produk dari Epic Games diantaranya adalah Fornite, WarFrame, WRC9, dll.

Sesuai dengan rilis resminya, MetaHuman dibuat untuk membantu para pengembang aplikasi permainan digital untuk bisa mendapatkan tiruan mimik manusia yang mendekati aslinya. Namun karena merupakan sebuah produk digital, hal tersebut tidak hanya terbatas pada kebutuhan pengembangan aplikasi permainan digital, melainkan juga dapat bermanfaat untuk pembuatan/produksi sebuah film, dan juga hal lainnya yang terkait dengan tampilan visual bergerak 3 dimensi.

Kalau kita simak pada video resmi MetaHuman, hasil akhir dari grafis tiruan mimik manusia yang dihasilkan luar biasa detail. Pada versi awalnya, para pengguna MetaHuman Creator dapat memilih 30 gaya rambut dan 18 jenis tubuh yang berbeda.

Namun pilihan itu akan berkembang terus seiring berjalannya waktu, karena MetaHuman memanfaatkan teknologi Cloud, yang membuat para pengguna MetaHuman Creator dapat mengunggah variasi rambut dan bentuk tubuh lainnya, dan kemudian unggahan tersebut akan menjadi informasi dan data tambahan untuk database MetaHuman Creator.

Bila pada DeepFake sempat terjadi beberapa perdebatan mengenai keaslian sebuah video, maka MetaHuman memiliki peluang yang lebih besar untuk menimbulkan perdebatan-perdebatan baru. Terutama bila kemudian MetaHuman digunakan secara tidak bertanggung-jawab untuk menyebarluaskan informasi yang seakan-akan berasal dari sumber atau tokoh tertentu.

Apalagi klaim yang disampaikan oleh Epic Games bahwa MetaHuman Creator akan sangat mudah digunakan, bahkan oleh seseorang yang tidak memiliki latar belakang teknologi informasi dan keterampilan menggambar sekalipun.

Terlebih pada masa pandemi seperti sekarang ini, dimana banyak pengguna internet yang berada pada kondisi terdesak dan tidak punya banyak pilihan dalam kesehariannya, tentu akan sangat mudah untuk digiring pada isu-isu negatif tertentu dengan memanfaatkan tampilan visual.

Iya, tampilan visual; karena saat ini kita tidak lagi membaca tulisan, melainkan membaca gambar.

Jadi mari bijaklah dalam menyerap informasi, agar kita tidak tersesat dan menimbulkan kegaduhan disaat kita butuh kerjasama dari semua pihak untuk bisa bersama-sama keluar dari pandemi ini.

Mari tetap berprilaku aman dan sehat. Semoga kita semua terhindar dari paparan virus SARS-Cov 19, serta bagi para pasien segera lekas sembuh, juga bagi para petugas dan tenaga kesehatan di Indonesia bisa tetap semangat dan sabar menjalankan tugasnya.

Referensi:

2 Comments Add yours

  1. scan says:

    Saya baru tau soal Meta Human sbgai istilah. Tp saya pernah nemu situs yg kaau diklik adalah isinya gambar orang palsu alias wajah org yg dibuat ato tdk prnah ada wajah itu.

    Like

    1. Sebenarnya lengkapnya adalah MetaHuman Creator seperti yang tercantum pada artikelnya. Dan saat ini, MetaHuman Creator adalah merk dagang dari Epic Games. Tapi melihat tren, tidak tertutup kemungkinan bahwa MetaHuman akan menjadi sebuah identitas atau bahkan adagium untuk teknologi yang diusung oleh Epic Games itu. Sama seperti Google, yang saat ini menjadi sebuah istilah bahkan kata kerja untuk kegiatan mencari informasi di internet. Atau merk dagang Aqua, yang menjadi sebutan singkat untuk Air Mineral Kemasan.

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.