Kekalahan Andy Warhol Dalam Kasus Hak Cipta Fotografi; Sebuah Catatan Penting Dalam Gempuran AI !!!

Fenomena maraknya pengunaan teknologi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence saat ini kerap menjadi perdebatan terkait dengan kepemilikan dan pengaturan pengunaan Hak atas Karya Intelektual (HKI) atau Copyright.

Terlebih pada era di mana banyak karya (baca: fotografi) dihasilkan dengan menggunakan teknologi digital, yang tentu memudahkan dalam work flow para fotografer namun juga tidak mewajibkan pembuat dan pengguna karyanya memiliki hard copy dari karya tersebut.

Saya sendiri bukan pakar hukum, tapi saya selalu menggunakan referensi tentang HKI dari Amerika. Karena menurut saya tingkat kesadaran hukum terkait HKI di sana lebih mapan dan bagi sebuah negara yang mengandalkan teknologi salah satu industri pentingnya, Amerika memiliki instrumen hukum yang lebih adaptif juga.

Dari kasus atau perdebatan yang terjadi di negeri Paman Sam itu, kita jadi bisa belajar banyak hal tentang HKI.

Andy Warhol v.s. Lynn Goldsmith

Setelah kasus Kris Kashtanova dengan karya Zava of The Down pada bulan September 2022, kali ini pada tanggal 18 Mei 2023 yang lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat telah menetapkan bahwa Andy Warhol yang diwakili oleh Yayasan Andy Warhol untuk Seni Visual dinyatakan kalah melawan Lynn Goldsmith.

Keputusan tersebut ditetapkan setelah terjadi diseenting opinion atau perbedaan pendapat, dan diputukan untuk dilakukan voting oleh para Hakim di Mahkamah Agung Amerika Serikat; 7 orang Hakim banding 2 orang Hakim. Masing-masing Hakim memiliki argumentasinya sendiri.

Secara singkat perbedaan pendapat di antara para hakim itu dapat dijelaskan dari kesimpulan pendapat yang disampaikan oleh kedua kubu hakim.

“original works, like those of other photographers, are entitled to copyright protection, even against famous artists.”

Hakim Agung Sonia Sotomayor

Yang secara bebas dapat diartikan ke dalam bahasa Indonesia bahwa perlindungan terhadap HKI atau copyright berlaku untuk semua karya yang asli seperti karya fotografi, bahkan bila pelanggaran dilakukan oleh artis terkenal.

“will stifle creativity of every sort.”

Hakim Agung Elena Kagan dan Ketua Hakim Agung John G. Roberts Jr.

Menurut kedua Hakim Agung tersebut, keputusan itu akan mematikan daya kreatifitas dalam banyak hal.

Obyek kasus tersebut adalah foto Prince yang merupakan hasil jepretan Lynn Goldsmith untuk majalah Newsweek pada tahun 1981.

Lantas pada tahun 1984 ketika Prince merilis album “Purple Rain“, oleh majalah Vanity Fair menyewa Andy Warhol untuk membuat karya seni yang menggunakan foto tersebut.

Vanity Fair membayar Lynn Goldsmit sebesar USD$ 400,- sebagai kompensasi untuk penggunaan karya fotonya yang digunakan sebagai referensi bagi Andy Warhol. Kompensasi tersebut sekaligus juga disertai ketentuan bahwa nama Lynn Goldsmith tetap dicantumkan pada karya Andy Warhol, dan hanya digunakan untuk digunakan untuk satu kali penerbitan majalah Vanity Fair saja.

Ada total 16 gambar yang dibuat oleh Warhol dengan menggunakan referensi foto Goldsmith dalam penugasan oleh Vanity Fair.

Kemudian pada tahun 2016, Condé Nast yang merupakan induk perusahaan Vanity Fair, menerbitkan satu edisi untuk memperingati pribadi Andy Warhol (meninggal pada tahun 1987) sebagai seniman.

Condé Nast membayar Yayasan Andy Warhol sebesar US$ 10,250.- untuk penggunaan karya Andy Warhol terkait Prince yang digunakan sebagai sampul terbitan edisi khusus majalah itu. Sedangkan Lynn Goldsmith sebagai fotografer yang membuat foto tersebut pertama kali tidak mendapatkan kompensasi dalam bentuk apapun.

Di sinilah lantas muncul perdebatan tentang HKI atas foto Lynn Goldsmith dan karya Andy Warhol.

Bagi kita di Indonesia, negara telah menyediakan beragam instrumen ketika terjadi perselisihan tentang HKI. Namun seperti yang lazim kita pahami dari beragam kisah oleh kawan-kawan yang pernah mengalaminya, dibutuhkan waktu yang panjang dan dana yang tidak sedikit untuk mengurus perselisihan tentang HKI itu.

Sehingga banyak dari kita yang memilih untuk “diam” atau mengambil tindakan seadanya saja apabila berhadapan dengan kasus seperti itu.

Lantas bagaimana dengan implikasi teknologi AI atau Kecerdasan Buatan terhadap karya yang sudah terlanjur naik tayang di internet? Agaknya kita hanya bisa menunggu bagaimana pemerintah Republik Indonesia serta para pembuat dan penyedia teknologi AI membuat aturan main yang lebih jelas.

Semoga bermanfaat.

Tautan referensi:

Advertisement

2 Comments Add yours

  1. pdg35779 says:

    yang terjadi pada saya (biaryang lain ga tersinggung) adalah minim pengetahuan hukum tentang industri kreatif (baca : ga mau belajar) dan menjual jasa dengan harga dibawah UMR / UMK. Disaat ada kejadian yang seperti ini, kita ga bisa melawan secara hukum. Selain ga punya pengetahuan juga ga memiliki cukup uang untuk bisa melanjutkan ini ke persidangan… Emang sih secara prinsip Hukum itu harus sederhana, cepat, dan ringan biaya. Namun bagi yang paham, ternyata itu hanya prinsipnya saja.

    Like

    1. Benar sekali. Kita di Indonesia memang lemah dalam literasi, sehingga tidak segampang itu untuk memberi kesadaran tentang banyak hal penting terkait dengan industri kreatif, terutama tentang Hak Cipta atau Copyright.

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.