Dalam era disrupsi digital saat ini banyak di antara kita yang merasa terancam dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Teknologi yang membuat hak cipta, hak finansial dan hak moral yang melekat pada sebuah karya (foto, video, suara, dll) mejadi sangat rentan dan memiliki resiko tinggi disalahgunakan dalam beragam bentuk tanpa ijin atau malah digunakan secara komersial.
Terutama ketika banyak orang yang berlomba-lomba menjadi content creator dengan harapan bisa mendapatkan popularitas dan pendapatan banyak dengan cara yang mudah dan singkat. Para content creator yang dengan sembrono menggunakan karya orang lain (tidak jarang melakukan modifikasi), dalam bentuk foto, gambar atau ilustrasi, musik dan lagu, video, dll.
Pergeseran tren ke segala sesuatu yang serba digital itulah yang membuat karya-karya digital menjadi semakin rentan terhadap resiko penyalahgunaan.
Terdokumentasi atau tidak, sebenarnya sudah terdapat banyak sekali kasus (di Indonesia dan luar negeri) seputar pelanggaran hak cipta atas beragam karya cipta (digital); Perdamaian antara Monyet dan Fotografer, Ayo (Jangan Asal] Jepret dan Pakai Foto, [LAGI-LAGI] Jangan Nyolong di Internet, Nyolong Footage di YouTube, Kekalahan Andy Warhol Dalam Kasus Hak Cipta Fotografi; Sebuah Catatan Penting Dalam Gempuran AI !!!, dll.
Pada satu kesempatan Bang Arbain Rambey yang merupakan seorang mantan redaktur foto, jurnalis dan pewarta foto Harian Kompas pernah mengatakan bahwa:
“Kalau kamu takut karyamu dicolong orang lain di internet, maka jangan upload karya itu!”
Arbain Rambey
Komentar itu dia sampaikan ketika mendapatkan pertanyaan tentang bagaimana caranya kita menyikapi penyalahgunaan karya (foto) pada era digital saat ini.
Tapi sungguhkah demikian? Kita sebaiknya tidak menggunggah karya ke internet? Kalau benar demikian, lantas bagaimana cara yang aman menggunakan sarana dan pelantar digital untuk promosi karya-karya kita? Dan apakah dengan menggunakan beragam metode watermarking itu sudah cukup untuk melindungi karya digital kita?
Tantangan Mempertahankan Kredensial Karya Digital
Ketika masih bekerja di Microsoft di pertengahan tahun 2000-an, saya beserta dengan karyawan Microsoft lainya terlibat aktif dalam campaign anti pembajakan aplikasi perangkat lunak. Beragam metode dilakukan ketika itu, termasuk salah satunya adalah dengan penggunaan watermarking untuk menentukan apakah sebuah dokumen adalah asli atau sudah mengalami perubahan/modifikasi.
Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan penggunaan watermarking dalam bentuk tulisan, logo atau simbol yang lazim digunakan pada karya-karya visual (foto, video, ilustrasi, infografis, dll), atau Digital Right Management (DRM) yang digunakan pada musik, lagu, video, dll.
Penggunaan teknik watermarking itu bertujuan untuk melindungi hak cipta sang pencipta yang melekat pada karya tesebut. Selain teknik di atas, watermarking juga bisa dilakukan dengan menggunakan informasi yang melekat pada metada sebuah karya digital, seperti beberapa gambar berikut ini.
Namun seiring perkembangan teknologi, penggunaan teknik watermarking dan metadata saja rasanya sudah tidak cukup lagi. Karena sudah terdapat beberapa teknik; content aware salah satunya, yang dapat dengan mudah digunakan untuk melakukan alternasi atau modifikasi watermarking tersebut (baca: Terganggu watermark foto di internet? Gampang sudah ada AI, bisa langsung hilang!).
Beranjak dari kebutuhan untuk mempertahankan kredensial karya digital itu, maka lahirlah Content Authenticity Initiative (baca: Ini Dia CAI, Gabungan “Raksasa Dunia Melawan Tipu-Tipu” Konten Visual Oleh AI).
Saat ini terdapat 2000 anggota CAI yang terdiri dari korporasi, agensi berita, praktisi komunikasi, fotografer, dll, dan saya beruntung bisa menjadi salah satu anggota resmi CAI sejak tahun 2023.
Salah satu hasil kolaborasi dari CAI adalah Coalition for Content Provenance and Authenticity (C2PA). C2PA itu sendiri adalah sebuah standarisasi baru yang merupakan sebuah upaya untuk memperkuat perlindungan atas hak para pencipta konten digital.
C2PA dan Content Credentials (CR)
Saat ini C2PA sudah mulai diadopsi dan diterapkan oleh produsen perangkat keras dan perangkat lunak kelas dunia, serta lembaga dan korporasi yang ruang lingkupnya berada di seputar penyediaan konten digital/digital content provider.
Turunan dari standarisasi C2PA itu adalah fitur Content Credentials (CR) yang mulai dikembangkan oleh Adobe sejak pertengahan tahun 2021 dan tepat pada perhelatan akbar MAX tanggal 10 Oktober 2023, Adobe secara resmi mengumumkan peluncuran Content Credentials (CR).
Melalui MAX, Adobe sebagai salah satu pemrakarsa terbentuknya CAI juga menyampaikan bahwa fitur CR saat ini telah diadopsi dan diterapkan oleh Microsoft, Publicis Groupe, Leica dan Nikon.
- Microsoft menerapkan CR pada Bing Image Creator. CR pada Bing diterapkan untuk semua gambar yang dihasilkan oleh AI yang dibuat dengan Bing Image Creator dalam bentuk watermark digital yang tidak terlihat. Hal tersebut sesuai dengan spesifikasi C2PA yang di dalamnya terdapat informasi tentang waktu dan tanggal pembuatan karya aslinya. Microsoft juga akan mengintegrasikan kemampuan Content Credentials ke dalam produk aplikasi Microsoft Designer. Baik Bing Image Creator maupun Microsoft Designer akan mengadopsi ikon Content Credentials yang baru.
- Sebagai sebuah perusahaan yang berferak dalam bidang periklanan dan komunikasi, Publicis Groupe akan berbagi pratinjau/preview untuk implementasi Content Credentials dengan Adobe pada lini bisnis mereka yang akan melibatkan jejaring pelanggan korporasi mereka, jaringan desainer, pemasar, kreatif di seluruh dunia dalam sebuah campaign yang bertajuk Trusted Campaign of The Future, sebuah campaign yang bertujuan untuk memastikan keaslian dan transparansi merk pada siklus atau perederan konten mereka.
- Leica Camera menyatakan bahwa akan menyertakan fitur CR pada produk kamera mereka yang akan segera tersedia secara komersial pada tahun 2023 ini.
- Sama seperti Leica, Nikon juga menyatakan bahwa akan segera mengadopsi fitur CR pada produk kamera mereka, yang sudah didahului dengan menyertakan fitur CR pada contoh produk kamera Z9. Kamera Nikon Z9 yang sudah dilengkapi secara khusus dengan fungsi keterangan asal-usul gambar, termasuk fitur CR, yang saat ini dalam pengembangan dan sejalan dengan CAI dan standarisasi C2PA.
Content Credentials (CR) dalam ruang lingkup perlindungan hak cipta sangat menjanjikan, karena saya yakin bahwa tidak butuh lama untuk lebih banyak pihak yang mengadopsi C2PA dan CR sebagai sebuah standarisasi global.
Cara Kerja Content Credentials (CR)
Secara sederhana Content Credentials (CR) adalah sebuah teknik watermarking, namun tidak kasat mata dan terselubung layaknya sebuah metadata. Yang membedakan CR dengan metada biasa adalah:
CR yang dikembangkan oleh CAI menggunakan tanda tangan digital kriptografi yang dienkripsi. Dengan penggunaan hash/tanda tangan kripto itu, bisa membantu menentukan apakah sebuah karya asli telah mengalami perubahan atau modifikasi. Hal ini juga dapat membantu untuk mengamankan metadata dengan format EXIF, IPTC, dan XMP.
Pada artikel ini saya menggunakan fitur Content Credentials yang terdapat pada Adobe Photoshop versi 25.0 yang sudah dilengkapi dengan fitur Generative Fill dan Generative Expand.
Langkah pertama adalah memilih file foto yang akan dimodifikasi (gambar 1).

Langkah kedua adalah melakukan modifikasi terhadap foto yang sudah dipilih tadi. Saya menggunakan fitur Generative Fill dan Generative Expand yang disediakan Adobe Firefly di Adobe Photoshop dalam modifikasi foto tersebut (gambar 2).
Langkah ketiga setelah selesai melakukan modifikasi, lantas dilakukan export terhadap file foto tersebut. Untuk Adobe Photoshop versi 25.0 pada menu export sudah tersedia secara default fitur Content Credentials (gambar 3).

Langkah keempat pada menu export terdapat pilihan untuk menyertakan informasi Content Credentials pada foto yang telah dimodifikasi. Kita bisa melakukan pratinjau atau preview terhadap riwayat perubahan atau modifikasi apa saja atas foto tersebut (gambar 4 dan gambar 5).


Langkah kelima bukan laman Content Credentials dan unggah file foto yang telah dimodifikasi tadi ke laman tersebut (gambar 6).
Langkah keenam pastikan bahwa file foto yang telah dimodikasi tadi sudah diunggah dengan benar (gambar 7).
Langkah ketujuh pastikan bahwa riwayat perubahan atau modifikasi atas foto tersebut sesuai dengan penjelasan dan keterangan yang terdapat pada hasil inspeksi/pemeriksaan laman Content Credentials. (gambar 8, gambar 9 dan gambar 10).

Buat kamu yang enggan membaca, saya juga sudah membuat satu video singkat yang menjelaskan cara kerja Content Credentials ini.
Selamat mencoba dan semoga bermanfaat 🤓
Referensi:
- Content Credentials
- Adobe MAX 2023: Milestone wave of Content Credentials adoption with industry partners Microsoft, Leica Camera, Nikon, Publicis Groupe, and more
Discover more from Yulianus Ladung
Subscribe to get the latest posts sent to your email.














One Comment Add yours